Sabtu, 31 Oktober 2009
Budaya dan Nilai-nilai Adat
Mayoritas penduduk Provinsi Banten memiliki semangat religius ke-Islaman yang kuat dengan tingkat toleransi yang tinggi, Sebagian besar anggota masyarakat memeluk agama Islam, tetapi pemeluk agama lain dapat hidup berdampingan dengan damai.
Potensi dan kekhasan budaya masyarakat Banten, antara lain seni bela diri pencak silat, debus, rudad, umbruk, tari saman, tari topeng, tari cokek, dog-dog, palingtung dan lojor. Disamping itu juga terdapat peninggalan warisan leluhur antara lain Masjid Agung Banten Lama, Makam Keramat Panjang, dan masih banyak peninggalan lainnya.
Di Provinsi Banten terdapat suku masyarakat Baduy. Suku Baduy merupakan suku asli Sunda Banten yang masih terjaga tradisi anti modernisasi, baik cara berpakaian maupun pola hidup lainnya. Suku Baduy-Rawayan tinggal dikawasan Cagar Budaya Pegunungan Kendeng seluas 5.101,85 Ha di daerah Kenekes, kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Perkampungan masyarakat Baduy umumnya terletak di daerah aliran sungai Ciujung di pegunungan Kendeng. Daerah ini dikenal sebagai wilayah tanah titipan dari nenek moyang, yang harus dipelihara dan dijaga baik-baik, tidak boleh dirusak, tidak boleh diakui sebagai hak milik penellitiannya.
Potensi dan kekhasan budaya masyarakat Banten, antara lain seni bela diri pencak silat, debus, rudad, umbruk, tari saman, tari topeng, tari cokek, dog-dog, palingtung dan lojor. Disamping itu juga terdapat peninggalan warisan leluhur antara lain Masjid Agung Banten Lama, Makam Keramat Panjang, dan masih banyak peninggalan lainnya.
Di Provinsi Banten terdapat suku masyarakat Baduy. Suku Baduy merupakan suku asli Sunda Banten yang masih terjaga tradisi anti modernisasi, baik cara berpakaian maupun pola hidup lainnya. Suku Baduy-Rawayan tinggal dikawasan Cagar Budaya Pegunungan Kendeng seluas 5.101,85 Ha di daerah Kenekes, kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Perkampungan masyarakat Baduy umumnya terletak di daerah aliran sungai Ciujung di pegunungan Kendeng. Daerah ini dikenal sebagai wilayah tanah titipan dari nenek moyang, yang harus dipelihara dan dijaga baik-baik, tidak boleh dirusak, tidak boleh diakui sebagai hak milik penellitiannya.
Pernikahan Adat Banten Kebesaran
Pernikahan Adat Banten Kebesaran
" Indonesia memang kaya akan kebudayaan dan adat istiadatnya yang kental melingkupi kita. Bisa dibilang sebagai orang Indonesia asli, budaya dan adat istiadat, baik yang diturunkan oleh orang tua atau yang kita terapkan dari lingkungan akan selalu digunakan seiring berjalannya kehidupan kita.
Sebagai bukti, tentu kita sudah tidak asing lagi dengan acara ‘Tujuh Bulanan’ yaitu prosesi untuk mendoakan si jabang bayi dan ibunya agar selalu sehat. Ada lagi prosesi adat ketika lahir, cukur rambut. Dan ketika dewasa ada prosesi adat pernikahan bahkan sampai meninggal pun prosesi adat kerap kita jumpai.
Hebatnya lagi, tiap daerah di Indonesia memiliki prosesi atau adat istiadat yang berbeda-beda walaupun wilayahnya berdekatan, seperti Prosesi Adat Pernikahan Banten, propinsi yang diapit oleh Jakarta dan Jawa Barat ini memiliki nuansa budaya tersendiri dalam melangsungkan pernikahan.
Banten memiliki 3 adat pernikahan yaitu, Banten Kebesaran, Banten Lestari dan Banten Gaya Tangerang. Kesemuanya memiliki ke-khasannya masing-masing, tapi untuk kali ini yang akan diulas adalah Prosesi Adat Pernikahan Banten Kebesaran.
Dalam prosesi ini, orang tua kedua calon mempelai menjunjung tinggi norma-norma agama, dalam hal ini agama Islam. Untuk menjaga diri dari pergaulan yang tak pantas, pihak perempuan tidak lazim berdekatan dengan laki-laki yang bukan muhrimnya. Maka peranan orang tua sangatlah dibutuhkan untuk menjembatani keinginan putra-putri mereka.
Untuk itu di Banten dikenal dengan istilah Nakeni, adat asli Banten, dimana pihak keluarga perempuan mendahului datang ke tempat orang tua laki-laki, yang dianggap pantas untuk menjadi calon menantunya, untuk mempertanyakan, apakah anak laki-lakinya sudah mempunyai calon istri atau belum. Tapi pada perkembangan saat ini, adat Nakeni di Banten dijadikan suatu upaya untuk mempersatukan keduanya dalam ikatan pernikahan, sehingga terhindar dari hal-hal yang melanggar norma agama.
Tahapan selanjutnya adalah Mastetaken, istilah yang digunakan untuk mematangkan rencana yang telah disampaikan pada upacara Nakeni. Wakil orang tua calon pengantin laki-laki berkunjung pada calon pengantin perempuan, untuk melamar dan menentukan hari baik untuk pernikahan. Pada kesempatan ini, dibawakan seserahan yang biasanya berupa seperangkat pakaian perempuan.
Pada hari yang telah ditentukan, mempelai laki-laki melaksanakan Akad Nikah. Namun sebelumnya ada upacara Mapag Pengantin atau upacara kedatangan calon pengantin laki-laki beserta keluarganya. Pada prosesi ini pengatin disambut dengan tarian penyambutan khas daerah Banten. Dalam Prosesi Akad Nikah, pengantin perempuan tidak disandingkan dengan pengantin laki-laki. Setelah selesai pelaksanaan Akad Nikah barulah keduanya duduk bersanding. Setelah mendapatkan doa restu dari seluruh keluarga dan handai taulan, pengatin laki-laki pulang ke rumahnya untuk mengikuti acara adat yang akan berlangsung pada malam harinya. Sedangkan pengantin perempuan dan keluarganya tetap di rumah untuk mempersiapkan upacra Mapag Jawadah.
Masih dihari yang sama, pada malam harinya diadakan prosesi adat Mapag Jawadah (Juadah). Prosesi ini merupakan penjemputan jawadah atau makanan kecil berbagai jenis seperti kue lapis, pisang setandan, tebu wulung, tumpeng kecil dari beras ketan dan sebagainya dari rumah keluarga pengatin laki-laki. Pengatin perempuan bersama keluarganya meyambangi ke kediamam pengantin laki-laki untuk selajutnya membawa jawadah. Selama Mapag Jawadah, sepanjang perjalanan sambil ber-shalawat.
Kedua penagatin selajutnya diarak menuju ke rumah pengatin perempuan yang didampingi keluarga kedua belah pihak serta membawa Jawadah. Sambil diringi lantunan Marhaban, kedua pengantin juga bermaksud diperkenalkan dengan masyarakat sekitar.
Setelah tiba di kediaman pengantin perempuan dilanjutkan dengan Yalil (buka pintu). Disini pengatin perempuan dibawa masuk kedalam rumah sedangkan pengatin laki-laki menunggu di depan pintu yang diberi tirai. Pelaksanaan Buka Pintu dilakuakan oleh rombongan Fakih, yang lazim disebut Yalil. Di dalam Yalil tersebut berisi nasehat-nasehat yang diselingi dengan kata-kata menggoda pengantin.
Prosesi selanjutnya adalah Ngeroncong (Nyembah). Kedua mempelai duduk dipelaminan, di depannya ada wadah seperti baskom kecil untuk menampung uang. Keluarga dan handai taulan bergatian melemparkan atau memberi uang receh sebagai simbol pemberian bekal untuk memulai hidup baru. Selanjutnya melakukan prosesi Ngedulagi, denga maksud menyatukan kedua pengantin.
Yang terakhir merupakan acara arak-arakan atau Ngarak Pengantin, dengan dimeriahkan oleh tabuhan musik rebana dan lantunan doa-doa dan pujian kehadirat Ilahi. Pengantin pun berjalan berkeliling menyalami tamu undangan dan masyarakat sekitar.
Dalam adat Banten Kebesaran pakai pernikahan untuk kedua pengantin, menggunakan bahan bludru, umumnya berwana hijau, bisa juga hitam dengan dihiasi motif emas . Hiasan kepala pengantin laki-laki disebut Makutaraja sedangkan yang perempuan Makuta. dan pengantin laki-laki membawa tombak pendek, bukan keris lazimnya masyrakat pulau Jawa.
Walaupun pernah menjadi bagian dari Propinsi Jawa Barat, namun Banten mempunyai bahasa sendiri yaitu pencampuran dari bahasa Sunda dan bahasa Jawa. Selain itu prosesi adat di Banten tidak bisa lepas dari pengaruh ajaran Islam, hal ini dikarenakan Banten pernah menjadi kerajaan Islam tertua di Nusantara.
" Indonesia memang kaya akan kebudayaan dan adat istiadatnya yang kental melingkupi kita. Bisa dibilang sebagai orang Indonesia asli, budaya dan adat istiadat, baik yang diturunkan oleh orang tua atau yang kita terapkan dari lingkungan akan selalu digunakan seiring berjalannya kehidupan kita.
Sebagai bukti, tentu kita sudah tidak asing lagi dengan acara ‘Tujuh Bulanan’ yaitu prosesi untuk mendoakan si jabang bayi dan ibunya agar selalu sehat. Ada lagi prosesi adat ketika lahir, cukur rambut. Dan ketika dewasa ada prosesi adat pernikahan bahkan sampai meninggal pun prosesi adat kerap kita jumpai.
Hebatnya lagi, tiap daerah di Indonesia memiliki prosesi atau adat istiadat yang berbeda-beda walaupun wilayahnya berdekatan, seperti Prosesi Adat Pernikahan Banten, propinsi yang diapit oleh Jakarta dan Jawa Barat ini memiliki nuansa budaya tersendiri dalam melangsungkan pernikahan.
Banten memiliki 3 adat pernikahan yaitu, Banten Kebesaran, Banten Lestari dan Banten Gaya Tangerang. Kesemuanya memiliki ke-khasannya masing-masing, tapi untuk kali ini yang akan diulas adalah Prosesi Adat Pernikahan Banten Kebesaran.
Dalam prosesi ini, orang tua kedua calon mempelai menjunjung tinggi norma-norma agama, dalam hal ini agama Islam. Untuk menjaga diri dari pergaulan yang tak pantas, pihak perempuan tidak lazim berdekatan dengan laki-laki yang bukan muhrimnya. Maka peranan orang tua sangatlah dibutuhkan untuk menjembatani keinginan putra-putri mereka.
Untuk itu di Banten dikenal dengan istilah Nakeni, adat asli Banten, dimana pihak keluarga perempuan mendahului datang ke tempat orang tua laki-laki, yang dianggap pantas untuk menjadi calon menantunya, untuk mempertanyakan, apakah anak laki-lakinya sudah mempunyai calon istri atau belum. Tapi pada perkembangan saat ini, adat Nakeni di Banten dijadikan suatu upaya untuk mempersatukan keduanya dalam ikatan pernikahan, sehingga terhindar dari hal-hal yang melanggar norma agama.
Tahapan selanjutnya adalah Mastetaken, istilah yang digunakan untuk mematangkan rencana yang telah disampaikan pada upacara Nakeni. Wakil orang tua calon pengantin laki-laki berkunjung pada calon pengantin perempuan, untuk melamar dan menentukan hari baik untuk pernikahan. Pada kesempatan ini, dibawakan seserahan yang biasanya berupa seperangkat pakaian perempuan.
Pada hari yang telah ditentukan, mempelai laki-laki melaksanakan Akad Nikah. Namun sebelumnya ada upacara Mapag Pengantin atau upacara kedatangan calon pengantin laki-laki beserta keluarganya. Pada prosesi ini pengatin disambut dengan tarian penyambutan khas daerah Banten. Dalam Prosesi Akad Nikah, pengantin perempuan tidak disandingkan dengan pengantin laki-laki. Setelah selesai pelaksanaan Akad Nikah barulah keduanya duduk bersanding. Setelah mendapatkan doa restu dari seluruh keluarga dan handai taulan, pengatin laki-laki pulang ke rumahnya untuk mengikuti acara adat yang akan berlangsung pada malam harinya. Sedangkan pengantin perempuan dan keluarganya tetap di rumah untuk mempersiapkan upacra Mapag Jawadah.
Masih dihari yang sama, pada malam harinya diadakan prosesi adat Mapag Jawadah (Juadah). Prosesi ini merupakan penjemputan jawadah atau makanan kecil berbagai jenis seperti kue lapis, pisang setandan, tebu wulung, tumpeng kecil dari beras ketan dan sebagainya dari rumah keluarga pengatin laki-laki. Pengatin perempuan bersama keluarganya meyambangi ke kediamam pengantin laki-laki untuk selajutnya membawa jawadah. Selama Mapag Jawadah, sepanjang perjalanan sambil ber-shalawat.
Kedua penagatin selajutnya diarak menuju ke rumah pengatin perempuan yang didampingi keluarga kedua belah pihak serta membawa Jawadah. Sambil diringi lantunan Marhaban, kedua pengantin juga bermaksud diperkenalkan dengan masyarakat sekitar.
Setelah tiba di kediaman pengantin perempuan dilanjutkan dengan Yalil (buka pintu). Disini pengatin perempuan dibawa masuk kedalam rumah sedangkan pengatin laki-laki menunggu di depan pintu yang diberi tirai. Pelaksanaan Buka Pintu dilakuakan oleh rombongan Fakih, yang lazim disebut Yalil. Di dalam Yalil tersebut berisi nasehat-nasehat yang diselingi dengan kata-kata menggoda pengantin.
Prosesi selanjutnya adalah Ngeroncong (Nyembah). Kedua mempelai duduk dipelaminan, di depannya ada wadah seperti baskom kecil untuk menampung uang. Keluarga dan handai taulan bergatian melemparkan atau memberi uang receh sebagai simbol pemberian bekal untuk memulai hidup baru. Selanjutnya melakukan prosesi Ngedulagi, denga maksud menyatukan kedua pengantin.
Yang terakhir merupakan acara arak-arakan atau Ngarak Pengantin, dengan dimeriahkan oleh tabuhan musik rebana dan lantunan doa-doa dan pujian kehadirat Ilahi. Pengantin pun berjalan berkeliling menyalami tamu undangan dan masyarakat sekitar.
Dalam adat Banten Kebesaran pakai pernikahan untuk kedua pengantin, menggunakan bahan bludru, umumnya berwana hijau, bisa juga hitam dengan dihiasi motif emas . Hiasan kepala pengantin laki-laki disebut Makutaraja sedangkan yang perempuan Makuta. dan pengantin laki-laki membawa tombak pendek, bukan keris lazimnya masyrakat pulau Jawa.
Walaupun pernah menjadi bagian dari Propinsi Jawa Barat, namun Banten mempunyai bahasa sendiri yaitu pencampuran dari bahasa Sunda dan bahasa Jawa. Selain itu prosesi adat di Banten tidak bisa lepas dari pengaruh ajaran Islam, hal ini dikarenakan Banten pernah menjadi kerajaan Islam tertua di Nusantara.
Jumat, 30 Oktober 2009
BUDAYA JAWA
Budaya Jawa pranataning uripe wong Jawa nuju kasampuraning jalma manungsa. Pranatan iki tegese pangerten lan cara. Pangerten bab urip nuduhake sapa sejatinging manungsa iku, jejer lan kewajibane. Dene cara nuduhake pakeming tumindak ing purwa, madya lan wusana ning kahanan. Uripe wong Jawa tansah njaga larasing swasana. Dadi kabeh perangane urip kaya ta pribadine dhewe, liyan, alam lan apa wae sing ana sakliyane dheweke kudu isa nampa lan nyengkuyung budine sing nuju marang kasampurnaning urip.
Sejarah Budaya Jawa
Budaya utawa kabudayan Jawa iku salah siji kabudayan sing wis mapan, amarga wis suwe banget anane. Budaya Jawa ora madeg dhewe. Animisme, Dinamisme miwiti ananing Budaya Jawa. Hindhu, Budha, Nasrani lan Islam ya akeh banget pasumbange marang Budaya Jawa. Budaya Jawa wiwit mula bukane gampang nampa lumebune bab-bab anyar saka njaba angger ora sisip sembir karo pokok ugerane. Budaya Jawa urip bebarengan karo Agama lan Kapitadosan sing ana. Wataking Budaya Jawa sing tansah nggoleki larase swasana gampang nampa ananing budaya liya.
Sub Sejarah
Jawa Wetanan
Kanggo tulisan sabanjuré, pirsani Budaya Jawa Wetan
Sub budaya Jawa Wetanan iku sing umume ana ing provinsi Jawa Wetan. Sub budaya iki sebageyan dipengaruhi budaya Madura lan sebageyan maneh esih nganut budaya Jawa kuna misale sing dianut suku Tengger.
Jawa Tengahan
Kanggo tulisan sabanjuré, pirsani Budaya Jawa Tengah
Sub budaya Jawa Tengahan iku ana ing sisih wetan provinsi Jawa Tengah lan sisih kulon Jawa Wetan. Umume dipengaruhi budaya sing urip neng kratonan.
Jawa Banyumasan
Kanggo tulisan sabanjuré, pirsani Budaya Banyumasan
Sub budaya Jawa Banyumasan iku ana ing sisih kulon provinsi Jawa Tengah. Sub budaya iki luwih sederhana lan nganut nilai-nilai egaliter, cablaka lan baworan.
Sejarah Budaya Jawa
Budaya utawa kabudayan Jawa iku salah siji kabudayan sing wis mapan, amarga wis suwe banget anane. Budaya Jawa ora madeg dhewe. Animisme, Dinamisme miwiti ananing Budaya Jawa. Hindhu, Budha, Nasrani lan Islam ya akeh banget pasumbange marang Budaya Jawa. Budaya Jawa wiwit mula bukane gampang nampa lumebune bab-bab anyar saka njaba angger ora sisip sembir karo pokok ugerane. Budaya Jawa urip bebarengan karo Agama lan Kapitadosan sing ana. Wataking Budaya Jawa sing tansah nggoleki larase swasana gampang nampa ananing budaya liya.
Sub Sejarah
Jawa Wetanan
Kanggo tulisan sabanjuré, pirsani Budaya Jawa Wetan
Sub budaya Jawa Wetanan iku sing umume ana ing provinsi Jawa Wetan. Sub budaya iki sebageyan dipengaruhi budaya Madura lan sebageyan maneh esih nganut budaya Jawa kuna misale sing dianut suku Tengger.
Jawa Tengahan
Kanggo tulisan sabanjuré, pirsani Budaya Jawa Tengah
Sub budaya Jawa Tengahan iku ana ing sisih wetan provinsi Jawa Tengah lan sisih kulon Jawa Wetan. Umume dipengaruhi budaya sing urip neng kratonan.
Jawa Banyumasan
Kanggo tulisan sabanjuré, pirsani Budaya Banyumasan
Sub budaya Jawa Banyumasan iku ana ing sisih kulon provinsi Jawa Tengah. Sub budaya iki luwih sederhana lan nganut nilai-nilai egaliter, cablaka lan baworan.
Rabu, 21 Oktober 2009
Gamelan
Gamelan adalah ensembel musik yang biasanya menonjolkan metalofon, gambang, gendang, dan gong. Istilah gamelan merujuk pada instrumennya / alatnya, yang mana merupakan satu kesatuan utuh yang diwujudkan dan dibunyikan bersama. Kata Gamelan sendiri berasal dari bahasa Jawa gamel yang berarti memukul / menabuh, diikuti akhiran an yang menjadikannya kata benda. Orkes gamelan kebanyakan terdapat di pulau Jawa, Madura, Bali, dan Lombok di Indonesia dalam berbagai jenis ukuran dan bentuk ensembel. Di Bali dan Lombok saat ini, dan di Jawa lewat abad ke-18, istilah gong lebih dianggap sinonim dengan gamelan.
Kemunculan gamelan didahului dengan budaya Hindu-Budha yang mendominasi Indonesia pada awal masa pencatatan sejarah, yang juga mewakili seni asli indonesia. Instrumennya dikembangkan hingga bentuknya sampai seperti sekarang ini pada zaman Kerajaan Majapahit. Dalam perbedaannya dengan musik India, satu-satunya dampak ke-India-an dalam musik gamelan adalah bagaimana cara menyanikannya. Dalam mitologi Jawa, gamelan dicipatakan oleh Sang Hyang Guru pada Era Saka, dewa yang menguasai seluruh tanah Jawa, dengan istana di gunung Mahendra di Medangkamulan (sekarang Gunung Lawu). Sang Hyang Guru pertama-tama menciptakan gong untuk memanggil para dewa. Untuk pesan yang lebih spesifik kemudian menciptakan dua gong, lalu akhirnya terbentuk set gamelan.[rujukan?]
Gambaran tentang alat musik ensembel pertama ditemukan di Candi Borobudur, Magelang Jawa Tengah, yang telah berdiri sejak abad ke-8. Alat musik semisal suling bambu, lonceng, kendhang dalam berbagai ukuran, kecapi, alat musik berdawai yang digesek dan dipetik, ditemukan dalam relief tersebut. Namun, sedikit ditemukan elemen alat musik logamnya. Bagaimanapun, relief tentang alat musik tersebut dikatakan sebagai asal mula gamelan.
Penalaan dan pembuatan orkes gamelan adalah suatu proses yang kompleks. Gamelan menggunakan empat cara penalaan, yaitu sléndro, pélog, "Degung" (khusus daerah Sunda, atau Jawa Barat), dan "madenda" (juga dikenal sebagai diatonis, sama seperti skala minor asli yang banyak dipakai di Eropa.
Kemunculan gamelan didahului dengan budaya Hindu-Budha yang mendominasi Indonesia pada awal masa pencatatan sejarah, yang juga mewakili seni asli indonesia. Instrumennya dikembangkan hingga bentuknya sampai seperti sekarang ini pada zaman Kerajaan Majapahit. Dalam perbedaannya dengan musik India, satu-satunya dampak ke-India-an dalam musik gamelan adalah bagaimana cara menyanikannya. Dalam mitologi Jawa, gamelan dicipatakan oleh Sang Hyang Guru pada Era Saka, dewa yang menguasai seluruh tanah Jawa, dengan istana di gunung Mahendra di Medangkamulan (sekarang Gunung Lawu). Sang Hyang Guru pertama-tama menciptakan gong untuk memanggil para dewa. Untuk pesan yang lebih spesifik kemudian menciptakan dua gong, lalu akhirnya terbentuk set gamelan.[rujukan?]
Gambaran tentang alat musik ensembel pertama ditemukan di Candi Borobudur, Magelang Jawa Tengah, yang telah berdiri sejak abad ke-8. Alat musik semisal suling bambu, lonceng, kendhang dalam berbagai ukuran, kecapi, alat musik berdawai yang digesek dan dipetik, ditemukan dalam relief tersebut. Namun, sedikit ditemukan elemen alat musik logamnya. Bagaimanapun, relief tentang alat musik tersebut dikatakan sebagai asal mula gamelan.
Penalaan dan pembuatan orkes gamelan adalah suatu proses yang kompleks. Gamelan menggunakan empat cara penalaan, yaitu sléndro, pélog, "Degung" (khusus daerah Sunda, atau Jawa Barat), dan "madenda" (juga dikenal sebagai diatonis, sama seperti skala minor asli yang banyak dipakai di Eropa.
Tarian Daerah
# Ampar-Ampar Pisang (Kalimantan Selatan)
# Anak Kambing Saya (Nusa Tenggara Timur)
# Angin Mamiri (Sulawesi Selatan)
# Anju Ahu (Sumatera Utara)
# Apuse (Papua)
# Ayam Den Lapeh (Sumatera Barat)
# Barek Solok (Sumatera Barat)
# Batanghari (Jambi)
# Bolelebo (Nusa Tenggara Barat)
# Bubuy Bulan (Jawa Barat)
# Buka Pintu (Maluku)
# Bungo Bangso (Sumatera Utara)
# Bungong Jeumpa (Aceh)
# Burung Tantina (Maluku)
# Butet (Sumatera Utara)
# Cik-Cik Periuk (Kalimantan Barat)
# Cikala Le Pongpong (Sumatera Utara)
# Cing Cangkeling (Jawa Barat)
# Cuk Mak Ilang (Sumatera Selatan)
# Dago Inang Sarge (Sumatera Utara)
# Dayung Palinggam (Sumatera Barat)
# Dayung Sampan (Banten)
# Dek Sangke (Sumatera Selatan)
# Desaku (Nusa Tenggara Timur)
# Esa Mokan (Sulawesi Utara)
# Es Lilin (Jawa Barat)
# Gambang Suling (Jawa Tengah)
# Gek Kepriye (Jawa Tengah)
# Goro-Gorone (Maluku)
# Gending Sriwijaya (Sumatera Selatan)
# Gundul Pacul (Jawa Tengah)
# Helele U Ala De Teang (Nusa Tenggara Barat)
# Huhatee (Maluku)
# Ilir-Ilir (Jawa Tengah)
# Indung-Indung (Kalimantan Timur)
# Injit-Injit Semut (Jambi)
# Jali-Jali (Jakarta)
# Jamuran (Jawa Tengah)
# Kabile-Bile (Sumatera Selatan)
# Kalayar (Kalimantan Tengah)
# Kambanglah Bungo (Sumatera Barat)
# Kampuang Nan Jauh Di Mato (Sumatera Barat)
# Ka Parak Tingga (Sumatera Barat)
# Karatagan Pahlawan (Jawa Barat)
# Keraban Sape (Jawa Timur)
# Keroncong Kemayoran (Jakarta)
# Kicir-Kicir (Jakarta)
# Kole-Kole (Maluku)
# Lalan Belek (Bengkulu)
# Lembah Alas (Aceh)
# Lisoi (Sumatera Utara)
# Madekdek Magambiri (Sumatera Utara)
# Malam Baiko (Sumatera Barat)
# Mande-Mande (Maluku)
# Manuk Dadali (Jawa Barat)
# Ma Rencong (Sulawesi Selatan)
# Mejangeran (Bali)
# Mariam Tomong (Sumatera Utara)
# Moree (Nusa Tenggara Barat)
# Nasonang Dohita Nadua (Sumatera Utara)
# O Ina Ni Keke (Sulawesi Utara)
# Ole Sioh (Maluku)
# Orlen-Orlen (Nusa Tenggara Barat)
# O Ulate (Maluku)
# Pai Mura Rame (Nusa Tenggara Barat)
# Pakarena (Sulawesi Selatan)
# Panon Hideung (Jawa Barat)
# Paris Barantai (Kalimantan Selatan)
# Peia Tawa-Tawa (Sulawesi Tenggara)
# Peuyeum Bandung (Jawa Barat)
# Pileuleuyan (Jawa Barat)
# Pinang Muda (Jambi)
# Piso Surit (Aceh)
# Pitik Tukung (Yogyakarta)
# Potong Bebek Angsa (Nusa Tenggara Timur)
# Rambadia (Sumatera Utara)
# Rang Talu (Sumatera Barat)
# Rasa Sayang-Sayange (Maluku)
# Ratu Anom (Bali)
# Saputangan Bapuncu Ampat (Kalimantan Selatan)
# Sarinande (Maluku)
# Selendang Mayang (Jambi)
# Sengko-Sengko (Sumatera Utara)
# Siboga Tacinto (Sumatera Utara)
# Sinanggar Tulo (Sumatera Utara)
# Sing Sing So (Sumatera Utara)
# Sinom (Yogyakarta)
# Si Patokaan (Sulawesi Utara)
# Sitara Tillo (Sulawesi Utara)
# Soleram (Riau)
# Surilang (Jakarta)
# Suwe Ora Jamu (Yogyakarta)
# Tanduk Majeng (Jawa Timur)
# Tanase (Maluku)
# Tapian Nauli (Sumatera Utara)
# Tari Tanggai (Sumatera Selatan)
# Tebe Onana (Nusa Tenggara Barat)
# Te Kate Dipanah (Yogyakarta)
# Tokecang (Jawa Barat)
# Tondok Kadadingku (Sulawesi Tengah)
# Tope Gugu (Sulawesi Tengah)
# Tumpi Wayu (Kalimantan Tengah)
# Tutu Koda (Nusa Tenggara Barat)
# Terang Bulan (Jakarta)
# Yamko Rambe Yamko (Papua)
# Bapak Pucung (Jawa Tengah)
# Yen Ing Tawang Ono Lintang (Jawa Tengah)
# Stasiun Balapan, Didi Kempot (Jawa Tengah)
# Anging Mamiri, Sulawesi Parasanganta (Sulawesi Selatan)
# bulu londong, malluya, io-io, ma'pararuk (Sulawesi Barat)
# Anak Kambing Saya (Nusa Tenggara Timur)
# Angin Mamiri (Sulawesi Selatan)
# Anju Ahu (Sumatera Utara)
# Apuse (Papua)
# Ayam Den Lapeh (Sumatera Barat)
# Barek Solok (Sumatera Barat)
# Batanghari (Jambi)
# Bolelebo (Nusa Tenggara Barat)
# Bubuy Bulan (Jawa Barat)
# Buka Pintu (Maluku)
# Bungo Bangso (Sumatera Utara)
# Bungong Jeumpa (Aceh)
# Burung Tantina (Maluku)
# Butet (Sumatera Utara)
# Cik-Cik Periuk (Kalimantan Barat)
# Cikala Le Pongpong (Sumatera Utara)
# Cing Cangkeling (Jawa Barat)
# Cuk Mak Ilang (Sumatera Selatan)
# Dago Inang Sarge (Sumatera Utara)
# Dayung Palinggam (Sumatera Barat)
# Dayung Sampan (Banten)
# Dek Sangke (Sumatera Selatan)
# Desaku (Nusa Tenggara Timur)
# Esa Mokan (Sulawesi Utara)
# Es Lilin (Jawa Barat)
# Gambang Suling (Jawa Tengah)
# Gek Kepriye (Jawa Tengah)
# Goro-Gorone (Maluku)
# Gending Sriwijaya (Sumatera Selatan)
# Gundul Pacul (Jawa Tengah)
# Helele U Ala De Teang (Nusa Tenggara Barat)
# Huhatee (Maluku)
# Ilir-Ilir (Jawa Tengah)
# Indung-Indung (Kalimantan Timur)
# Injit-Injit Semut (Jambi)
# Jali-Jali (Jakarta)
# Jamuran (Jawa Tengah)
# Kabile-Bile (Sumatera Selatan)
# Kalayar (Kalimantan Tengah)
# Kambanglah Bungo (Sumatera Barat)
# Kampuang Nan Jauh Di Mato (Sumatera Barat)
# Ka Parak Tingga (Sumatera Barat)
# Karatagan Pahlawan (Jawa Barat)
# Keraban Sape (Jawa Timur)
# Keroncong Kemayoran (Jakarta)
# Kicir-Kicir (Jakarta)
# Kole-Kole (Maluku)
# Lalan Belek (Bengkulu)
# Lembah Alas (Aceh)
# Lisoi (Sumatera Utara)
# Madekdek Magambiri (Sumatera Utara)
# Malam Baiko (Sumatera Barat)
# Mande-Mande (Maluku)
# Manuk Dadali (Jawa Barat)
# Ma Rencong (Sulawesi Selatan)
# Mejangeran (Bali)
# Mariam Tomong (Sumatera Utara)
# Moree (Nusa Tenggara Barat)
# Nasonang Dohita Nadua (Sumatera Utara)
# O Ina Ni Keke (Sulawesi Utara)
# Ole Sioh (Maluku)
# Orlen-Orlen (Nusa Tenggara Barat)
# O Ulate (Maluku)
# Pai Mura Rame (Nusa Tenggara Barat)
# Pakarena (Sulawesi Selatan)
# Panon Hideung (Jawa Barat)
# Paris Barantai (Kalimantan Selatan)
# Peia Tawa-Tawa (Sulawesi Tenggara)
# Peuyeum Bandung (Jawa Barat)
# Pileuleuyan (Jawa Barat)
# Pinang Muda (Jambi)
# Piso Surit (Aceh)
# Pitik Tukung (Yogyakarta)
# Potong Bebek Angsa (Nusa Tenggara Timur)
# Rambadia (Sumatera Utara)
# Rang Talu (Sumatera Barat)
# Rasa Sayang-Sayange (Maluku)
# Ratu Anom (Bali)
# Saputangan Bapuncu Ampat (Kalimantan Selatan)
# Sarinande (Maluku)
# Selendang Mayang (Jambi)
# Sengko-Sengko (Sumatera Utara)
# Siboga Tacinto (Sumatera Utara)
# Sinanggar Tulo (Sumatera Utara)
# Sing Sing So (Sumatera Utara)
# Sinom (Yogyakarta)
# Si Patokaan (Sulawesi Utara)
# Sitara Tillo (Sulawesi Utara)
# Soleram (Riau)
# Surilang (Jakarta)
# Suwe Ora Jamu (Yogyakarta)
# Tanduk Majeng (Jawa Timur)
# Tanase (Maluku)
# Tapian Nauli (Sumatera Utara)
# Tari Tanggai (Sumatera Selatan)
# Tebe Onana (Nusa Tenggara Barat)
# Te Kate Dipanah (Yogyakarta)
# Tokecang (Jawa Barat)
# Tondok Kadadingku (Sulawesi Tengah)
# Tope Gugu (Sulawesi Tengah)
# Tumpi Wayu (Kalimantan Tengah)
# Tutu Koda (Nusa Tenggara Barat)
# Terang Bulan (Jakarta)
# Yamko Rambe Yamko (Papua)
# Bapak Pucung (Jawa Tengah)
# Yen Ing Tawang Ono Lintang (Jawa Tengah)
# Stasiun Balapan, Didi Kempot (Jawa Tengah)
# Anging Mamiri, Sulawesi Parasanganta (Sulawesi Selatan)
# bulu londong, malluya, io-io, ma'pararuk (Sulawesi Barat)
Budaya Indonesia
Kebudayaan Indonesia dapat didefinisikan sebagai seluruh kebudayaan lokal yang telah ada sebelum bentuknya nasional Indonesia pada tahun 1945. Seluruh kebudayaan lokal yang berasal dari kebudayaan beraneka ragam suku-suku di Indonesia merupakan bagian integral daripada kebudayaan Indonesia.
Kebudayaan Indonesia walau beraneka ragam, namun pada dasarnya terbentuk dan dipengaruhi oleh kebudayaan besar lainnya seperti kebudayaan Tionghoa, kebudayaan India dan kebudayaan Arab. Kebudayaan India terutama masuk dari penyebaran agama Hindu dan Buddha di Nusantara jauh sebelum Indonesia terbentuk. Kerajaan-kerajaan yang bernafaskan agama Hindu dan Budha sempat mendominasi Nusantara pada abad ke-5 Masehi ditandai dengan berdirinya kerajaan tertua di Nusantara, Kutai, sampai pada penghujung abad ke-15 Masehi.
Kebudayaan Tionghoa masuk dan mempengaruhi kebudayaan Indonesia karena interaksi perdagangan yang intensif antara pedagang-pedagang Tionghoa dan Nusantara (Sriwijaya). Selain itu, banyak pula yang masuk bersama perantau-perantau Tionghoa yang datang dari daerah selatan Tiongkok dan menetap di Nusantara. Mereka menetap dan menikahi penduduk lokal menghasilkan perpaduan kebudayaan Tionghoa dan lokal yang unik. Kebudayaan seperti inilah yang kemudian menjadi salah satu akar daripada kebudayaan lokal modern di Indonesia semisal kebudayaan Jawa dan Betawi.
Kebudayaan Arab masuk bersama dengan penyebaran agama Islam oleh pedagang-pedagang Arab yang singgah di Nusantara dalam perjalanan mereka menuju Tiongkok.
Kedatangan penjelajah dari Eropa sejak abad ke-16 ke Nusantara, dan penjajahan yang berlangsung selanjutnya, membawa berbagai bentuk kebudayaan Barat dan membentuk kebudayaan Indonesia modern sebagaimana yang dapat dijumpai sekarang. Teknologi, sistem organisasi dan politik, sistem sosial, berbagai elemen budaya seperti boga, busana, perekonomian, dan sebagainya, banyak mengadopsi kebudayaan Barat yang lambat-laun terintegrasi dalam masyarakat.
Kebudayaan Indonesia walau beraneka ragam, namun pada dasarnya terbentuk dan dipengaruhi oleh kebudayaan besar lainnya seperti kebudayaan Tionghoa, kebudayaan India dan kebudayaan Arab. Kebudayaan India terutama masuk dari penyebaran agama Hindu dan Buddha di Nusantara jauh sebelum Indonesia terbentuk. Kerajaan-kerajaan yang bernafaskan agama Hindu dan Budha sempat mendominasi Nusantara pada abad ke-5 Masehi ditandai dengan berdirinya kerajaan tertua di Nusantara, Kutai, sampai pada penghujung abad ke-15 Masehi.
Kebudayaan Tionghoa masuk dan mempengaruhi kebudayaan Indonesia karena interaksi perdagangan yang intensif antara pedagang-pedagang Tionghoa dan Nusantara (Sriwijaya). Selain itu, banyak pula yang masuk bersama perantau-perantau Tionghoa yang datang dari daerah selatan Tiongkok dan menetap di Nusantara. Mereka menetap dan menikahi penduduk lokal menghasilkan perpaduan kebudayaan Tionghoa dan lokal yang unik. Kebudayaan seperti inilah yang kemudian menjadi salah satu akar daripada kebudayaan lokal modern di Indonesia semisal kebudayaan Jawa dan Betawi.
Kebudayaan Arab masuk bersama dengan penyebaran agama Islam oleh pedagang-pedagang Arab yang singgah di Nusantara dalam perjalanan mereka menuju Tiongkok.
Kedatangan penjelajah dari Eropa sejak abad ke-16 ke Nusantara, dan penjajahan yang berlangsung selanjutnya, membawa berbagai bentuk kebudayaan Barat dan membentuk kebudayaan Indonesia modern sebagaimana yang dapat dijumpai sekarang. Teknologi, sistem organisasi dan politik, sistem sosial, berbagai elemen budaya seperti boga, busana, perekonomian, dan sebagainya, banyak mengadopsi kebudayaan Barat yang lambat-laun terintegrasi dalam masyarakat.
Klaim tempe oleh beberapa perusahaan asing
Tempe dari Jawa oleh Beberapa Perusahaan Asing
Dari BudayaIndonesia
Langsung ke: navigasi, cari
Nama Artefak : Tempe
Asal Daerah : Jawa
Kategori : Makanan dan Minuman
Tahun Klaim: Bervariasi
Exploitor : Oknum WN Jepang
Modus : Beberapa Perusahaan Asing
Keterangan : Tercatat ada 19 paten tentang tempe, di mana 13 buah paten adalah milik AS, yaitu: 8 paten dimiliki oleh Z-L Limited Partnership; 2 paten oleh Gyorgy mengenai minyak tempe; 2 paten oleh Pfaff mengenai alat inkubator dan cara membuat bahan makanan; dan 1 paten oleh Yueh mengenai pembuatan makanan ringan dengan campuran tempe. Sedangkan 6 buah milik Jepang adalah 4 paten mengenai pembuatan tempe; 1 paten mengenai antioksidan; dan 1 paten mengenai kosmetik menggunakan bahan tempe yang diisolasi. Paten lain untuk Jepang, disebut Tempeh, temuan Nishi dan Inoue (Riken Vitamin Co. Ltd) diberikan pada 10 Juli 1986. Tempe tersebut terbuat dari limbah susu kedelai dicampur tepung kedele, tepung terigu, tepung beras, tepung jagung, dekstrin, Na-kaseinat dan putih telur.
Dari BudayaIndonesia
Langsung ke: navigasi, cari
Nama Artefak : Tempe
Asal Daerah : Jawa
Kategori : Makanan dan Minuman
Tahun Klaim: Bervariasi
Exploitor : Oknum WN Jepang
Modus : Beberapa Perusahaan Asing
Keterangan : Tercatat ada 19 paten tentang tempe, di mana 13 buah paten adalah milik AS, yaitu: 8 paten dimiliki oleh Z-L Limited Partnership; 2 paten oleh Gyorgy mengenai minyak tempe; 2 paten oleh Pfaff mengenai alat inkubator dan cara membuat bahan makanan; dan 1 paten oleh Yueh mengenai pembuatan makanan ringan dengan campuran tempe. Sedangkan 6 buah milik Jepang adalah 4 paten mengenai pembuatan tempe; 1 paten mengenai antioksidan; dan 1 paten mengenai kosmetik menggunakan bahan tempe yang diisolasi. Paten lain untuk Jepang, disebut Tempeh, temuan Nishi dan Inoue (Riken Vitamin Co. Ltd) diberikan pada 10 Juli 1986. Tempe tersebut terbuat dari limbah susu kedelai dicampur tepung kedele, tepung terigu, tepung beras, tepung jagung, dekstrin, Na-kaseinat dan putih telur.
Senin, 19 Oktober 2009
Mesjid Agung Banten
Pagi itu, meskipun mendung nampak serombongan ibu-ibu berbusana seragam muslim warna biru muda berjalan bergegas menuju kompleks Mesjid Agung Banten. Hujan rintik yang mulai perlahan turun nampaknya tidak mampu mengurungkan niat mereka untuk berziarah kemakam-makam sultan banten. Sepertinya hal ini merupakan rutinitas yang telah biasa mereka lakukan di hari-hari tertentu. Menjelang siang nampak berbagai bus-bus pariwisata yang didominasi kaum hawa berdatangan dari berbagai wilayah di pulau Jawa. Tampak sekali rasa antusias mewarnai rona muka tatkala mereka berkunjung atau berziarah ke Mesjid Agung Banten.
Masjid Agung Banten yang didirikan oleh Sultan Maulana Hasanudin atau putera dari Sunan Gunung Jati, meskipun telah berumur lebih dari 4 abad (didirikan pada kisaran tahun 1560-1570), nampak masih berdiri kokoh dan terawat dengan baik. Seperti juga mesjid-mesjid lainnya, bangunan induk mesjid berdenah segi empat. Atapnya merupakan atap bersusun lima dengan bagian kiri dan kanannya terdapat masing-masing serambi. Agaknya serambi ini dibangun pada waktu kemudian. Didalam serambi kiri, yang merupakan bagian utara dari mesjid, terdapat makam-makam dari beberapa sultan Banten dan keluarganya, diantaranya makam Maulana Hasanuddin dan isterinya, Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Abu Nashr Abdul Qahhar. Sedangkan didalam serambi kanan, yang terletak di selatan, terdapat pula makam-makam Sultan Maulana Muhammad, Sultan Zainul 'Abidin dan lain-lainnya. Pada bagian tangga pada masdjid itu memiliki model menyerupai goa, yang menurut sejarah pembangunannya dilakukan atas bantuan seorang arsitektur asal Mongolia bernama Cek Ban Cut.
Pada sisi timur dari mesjid tersebut terdapat menara yang berdiri dengan ketinggian +/- 30 meter dengan diameter bagian pangkalnya +/- 10 meter. Menara ini dulunya selain sebagai tempat untuk mengumandangkan azan juga digunakan untuk melihat/mengawasi perairan laut. Konon menara ini dibangun semasa kekuasaan Sultan Haji pada tahun 1620 oleh seorang arsitek Belanda, Hendrik Lucazoon Cardeel. Pada waktu itu, Cardeel memang membelot ke pihak Banten, dan kemudian dianugerahi gelar Pangeran Wiraguna.
Dibagian dalam menara tersebut terdapat sebuah tangga untuk menuju bagian atasnya. Tangga tersebut melingkari menara pada bagian tepi dalamnya dengan lorong sempit yang hanya cukup dilewati oleh satu orang saja. Bahkan bila anda memiliki ukuran tubuh yang gemuk/besar, bisa dipastikan tidak akan bisa melewatinya. Dari bagian atas menara ini, kita dapat melihat pemandangan disekitar mesjid termasuk lautan lepas dengan perahu-perahu nelayannya. Jarak antara menara ini dengan pantai tidaklah jauh yakni kurang lebih 1,5 km, sehingga cukup jelas untuk memantau kesibukan di perairan laut banten.
Bagian Selatan dari Mesjid Agung Banten terdapat bangunan yang dinamakan Tiyamah. Bentuknya berupa segiempat panjang dan bertingkat. Bangunaan ini mempunyai langgam arsitektur Belanda kuno dan menurut sejarah didesain pula oleh Lucazoon Cardeel. Dahulu bangunan ini dipergunakan sebagai tempat musyawarah dan berdiskusi tentang soal-soal keagamaan.
Kesultanan Banten memang menempatkan Islam sebagai landasan kehidupan politik kerajaan. Dalam hal ini Islam menjadi alat legitimasi atas kekuasaan penguasa, serta menjadi simbol identitas. Meskipun Islam mendominasi kehidupan politik dan kebudayaan di kesultanan banten, namun tidak menutup kemungkinanan agama lain menjalankan ritualnya disana. Hal ini dibuktikan dengan adanya bangunan kelenteng yang merupakan pusat peribadatan etnis cina pada masa tersebut.
Dengan kata lain, Mesjid Agung Banten memang sarat dengan nuansa keagamaan Islam yang telah dipadu dengan budaya Barat dan Cina pada arsitektur bangunannya. Dengan adanya makam-makam kuno kesultanan Banten nampaknya semakin menjadikan mesjid ini ramai dikunjungi untuk wisata ziarah terutama dihari-hari libur maupun dihari-hari besar umat Islam lainnya.
SOTO BANTEN
SOTTO BANTEN
( ((B BBaannt tten)))
1. BAHAN
1) Isi perut 1 kg
2) Minyak 1 cangkir
3) Kelapa 1 butir
2. BUMBU
1) Bawang merah 20 buah
2) Lombok merah 10 biji
3) Bawang putih 10 siung
4) Lada halus ½ sendok teh
5) Jahe 2 rsj
6) Garam 1 sendok makan
3. CARA PEMBUATAN
1) Isi perut direbus sampai empuk.
2) Diangkat dari perebusan dan digoreng.
3) Kelapa diparut dibuat santan kental.
4) Bumbu-bumbu dihaluskan, lalu dimasukkan ke air perebusan tadi
beserta santan.
5) Jika menghidangkan gorengan isi perut dipotong kecil-kecil,
ditambahkan, perkedel, emping, bawang goreng, tomat dan
sambel.
( ((B BBaannt tten)))
1. BAHAN
1) Isi perut 1 kg
2) Minyak 1 cangkir
3) Kelapa 1 butir
2. BUMBU
1) Bawang merah 20 buah
2) Lombok merah 10 biji
3) Bawang putih 10 siung
4) Lada halus ½ sendok teh
5) Jahe 2 rsj
6) Garam 1 sendok makan
3. CARA PEMBUATAN
1) Isi perut direbus sampai empuk.
2) Diangkat dari perebusan dan digoreng.
3) Kelapa diparut dibuat santan kental.
4) Bumbu-bumbu dihaluskan, lalu dimasukkan ke air perebusan tadi
beserta santan.
5) Jika menghidangkan gorengan isi perut dipotong kecil-kecil,
ditambahkan, perkedel, emping, bawang goreng, tomat dan
sambel.
Rabu, 14 Oktober 2009
PEMBERDAYAAN SENI TRADISIONAL DI KAMPUS ITB PADA ERA KELAHIRAN UNIT-UNIT KESENIAN DAERAH DI AWAL TAHUN-TAHUN 1970-AN
PEMBERDAYAAN SENI TRADISIONAL DI KAMPUS ITB PADA ERA KELAHIRAN UNIT-UNIT KESENIAN DAERAH DI AWAL TAHUN-TAHUN 1970-AN
Unit kesenian yang lahir paling awal di kampus ITB adalah Paduan Suara Mahasiswa (PSM) ITB, yang memang diperlukan kehadirannya sebagai perangkat resmi acara/upacara akademik sidang terbuka senat ITB. Adapun unit kesenian daerah tertuanya adalah Perkumpulan Seni Tari & Karawitan Jawa (PSTK)- ITB yang lahir pada tanggal 7 Maret 1971. Menyusul setelah itu lahirlah Lingkung Seni Sunda (LSS)-ITB bulan April 1971, Keluarga Kesenian Maha Gonta Ganesha (MGG)-ITB bulan September 1971, Unit Kesenian Sulawesi Selatan (UKSS)-ITB, Unit Kesenian Minang (UKM)-ITB, dan Unit Kesenian Sumatra Utara (UKSU)-ITB yang semuanya terjadi pada tahun-tahun 1970-an, berkat kerja keras PR-III ITB Wiranto Arismunandar, beserta Koordinator Kesenian ITB Harsono Tarupratjeka, yang kemudian dilanjutkan oleh But Muchtar dan setelah itu oleh Ida Dewa Gede Raka.
Pada awal tahun 1970-an ini peran serta conducive langsung mahasiswa dan sarjana non seni dalam kegiatan pentas seni tradisional -- baik sebagai penari, penabuh, sinden, dalang, maupun peran-peran kesenimanan lain -- serta merta disambut hangat segenap kalangan masyarakat tanpa sedikitpun ada reserve. Mahasiswa dan sarjana non seni dinilai sangat berjasa dalam mempertinggi martabat seni tradisional dengan mengangkatnya sebagai bagian dari sisi intra dan ekstra kegiatan ilmiah kampus.
Terhadap kegiatan pemacuan prestasi kompetitif berkesenian bagi masyarakat pun mahasiswa perguruan tinggi non seni juga telah merintiskan contoh penanganan lomba seni yang inovatif dan mendidik. Pada tahun 1974 Dewan Mahasiswa ITB menyelenggarakan Festifal Karawitan Sunda, Jawa, Bali se Bandung Raya untuk menampung semangat berkompetisi karawitan masyarakat Bandung yang saat itu sangat tinggi. Dalam festifal tersebut diterapkan peraturan yang melarang lulusan Konservatori Karawitan, dan sarjana muda karawitan lulusan Akademi Seni Karawitan serta pelatih karawitan dari grup-grup peserta lomba untuk ikut menjadi penabuh dalam grup peserta manapun. ( Catatan: saat itu tidak dicantumkan larangan bagi sarjana seni karawitan lulusan ASKI, karena saat itu sarjana seni karawitan memang belum ada ). Terhadap grup-grup peserta lomba yang berhasil tampil sebagai pemenang, Dewan Mahasiswa ITB memberikan kepada pelatihnya tanda penghargaan sebagai pelatih berprestasi, disertai hadiah-hadiah yang mungkin kalau dinilai secara komersial tidaklah sangat tinggi. Di sini telah diterapkan prinsip lomba "jurdil" yang tampaknya belum berhasil diterapkan pada jenis "lomba" tertentu di masyarakat.
Untuk sisi kegiatan ilmiah seni tampaknya harus dikenang nama Bambang Sadharta, mantan mahasiswa Jurusan Tambang ITB angkatan 1974 yang kini menjadi salah satu " orang minyak " penting di Kalimantan Timur. Mantan Ketua PSTK-ITB periode 1976-1977 ini seusai lengser dari keprabonnya ditugasi oleh Ketua PSTK-ITB penggantinya untuk memimpin Divisi Penelitiian Gamelan PSTK-ITB. Dengan bantuan Badan Masalah Kemahasiswaan ITB maka Divisi pimpinan Bambang Sadharta ini berhasil menerbitkan sebuah kajian keilmuan tentang filsafat nada dalam judul buku "KEMPYUNG-700". Melalui penugasan Dirjen Kebudayaan (Prof. Dr. Hayati Soebadio saat itu), pada tahun 1981 isi buku hasil penelitian PSTK-ITB tersebut diajarkan dalam "ASEAN WORKSHOP ON THE MANUFACTURE OF THE INDONESIAN GAMELAN"-- yang diikuti oleh ahli-ahli musik, ahli metalurgi, dan musikolog dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Muang Thai -- sebagai bagian dari materi tentang filsafat pembentukan nada gamelan.
Sejak 1981 hingga 1985 nama PSTK-ITB selalu dicantumkan dalam publikasi-publikasi ilmiah tentang filsafat nada. Sejak 1981 hingga sekarang, materi penelitian PSTK-ITB tersebut masih tetap diajarkan sebagai bagian materi perkuliahan Etnomusikologi, Organologo, dan Akustika Nada pada Jurusan Karawitan STSI Bandung. Kini materi penelitian PSTK-ITB tersebut diangkat sebagai metoda kupas dari analisis naskah penelitian Tim Indonesia (di bawah pimpinan Dr. Sri Hastanto; mantan Direktur ASKI Surakarta 1986-1988, dan mantan Ketua STSI Surakarta 1988-1997) dalam SONIC ORDER ON ASEAN TRADITIONAL MUSIC RESEARCH, yang sedang dikerjakan sejak bulan Agustus 1998 hingga bulan Maret 1999 nanti.
Unit kesenian yang lahir paling awal di kampus ITB adalah Paduan Suara Mahasiswa (PSM) ITB, yang memang diperlukan kehadirannya sebagai perangkat resmi acara/upacara akademik sidang terbuka senat ITB. Adapun unit kesenian daerah tertuanya adalah Perkumpulan Seni Tari & Karawitan Jawa (PSTK)- ITB yang lahir pada tanggal 7 Maret 1971. Menyusul setelah itu lahirlah Lingkung Seni Sunda (LSS)-ITB bulan April 1971, Keluarga Kesenian Maha Gonta Ganesha (MGG)-ITB bulan September 1971, Unit Kesenian Sulawesi Selatan (UKSS)-ITB, Unit Kesenian Minang (UKM)-ITB, dan Unit Kesenian Sumatra Utara (UKSU)-ITB yang semuanya terjadi pada tahun-tahun 1970-an, berkat kerja keras PR-III ITB Wiranto Arismunandar, beserta Koordinator Kesenian ITB Harsono Tarupratjeka, yang kemudian dilanjutkan oleh But Muchtar dan setelah itu oleh Ida Dewa Gede Raka.
Pada awal tahun 1970-an ini peran serta conducive langsung mahasiswa dan sarjana non seni dalam kegiatan pentas seni tradisional -- baik sebagai penari, penabuh, sinden, dalang, maupun peran-peran kesenimanan lain -- serta merta disambut hangat segenap kalangan masyarakat tanpa sedikitpun ada reserve. Mahasiswa dan sarjana non seni dinilai sangat berjasa dalam mempertinggi martabat seni tradisional dengan mengangkatnya sebagai bagian dari sisi intra dan ekstra kegiatan ilmiah kampus.
Terhadap kegiatan pemacuan prestasi kompetitif berkesenian bagi masyarakat pun mahasiswa perguruan tinggi non seni juga telah merintiskan contoh penanganan lomba seni yang inovatif dan mendidik. Pada tahun 1974 Dewan Mahasiswa ITB menyelenggarakan Festifal Karawitan Sunda, Jawa, Bali se Bandung Raya untuk menampung semangat berkompetisi karawitan masyarakat Bandung yang saat itu sangat tinggi. Dalam festifal tersebut diterapkan peraturan yang melarang lulusan Konservatori Karawitan, dan sarjana muda karawitan lulusan Akademi Seni Karawitan serta pelatih karawitan dari grup-grup peserta lomba untuk ikut menjadi penabuh dalam grup peserta manapun. ( Catatan: saat itu tidak dicantumkan larangan bagi sarjana seni karawitan lulusan ASKI, karena saat itu sarjana seni karawitan memang belum ada ). Terhadap grup-grup peserta lomba yang berhasil tampil sebagai pemenang, Dewan Mahasiswa ITB memberikan kepada pelatihnya tanda penghargaan sebagai pelatih berprestasi, disertai hadiah-hadiah yang mungkin kalau dinilai secara komersial tidaklah sangat tinggi. Di sini telah diterapkan prinsip lomba "jurdil" yang tampaknya belum berhasil diterapkan pada jenis "lomba" tertentu di masyarakat.
Untuk sisi kegiatan ilmiah seni tampaknya harus dikenang nama Bambang Sadharta, mantan mahasiswa Jurusan Tambang ITB angkatan 1974 yang kini menjadi salah satu " orang minyak " penting di Kalimantan Timur. Mantan Ketua PSTK-ITB periode 1976-1977 ini seusai lengser dari keprabonnya ditugasi oleh Ketua PSTK-ITB penggantinya untuk memimpin Divisi Penelitiian Gamelan PSTK-ITB. Dengan bantuan Badan Masalah Kemahasiswaan ITB maka Divisi pimpinan Bambang Sadharta ini berhasil menerbitkan sebuah kajian keilmuan tentang filsafat nada dalam judul buku "KEMPYUNG-700". Melalui penugasan Dirjen Kebudayaan (Prof. Dr. Hayati Soebadio saat itu), pada tahun 1981 isi buku hasil penelitian PSTK-ITB tersebut diajarkan dalam "ASEAN WORKSHOP ON THE MANUFACTURE OF THE INDONESIAN GAMELAN"-- yang diikuti oleh ahli-ahli musik, ahli metalurgi, dan musikolog dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Muang Thai -- sebagai bagian dari materi tentang filsafat pembentukan nada gamelan.
Sejak 1981 hingga 1985 nama PSTK-ITB selalu dicantumkan dalam publikasi-publikasi ilmiah tentang filsafat nada. Sejak 1981 hingga sekarang, materi penelitian PSTK-ITB tersebut masih tetap diajarkan sebagai bagian materi perkuliahan Etnomusikologi, Organologo, dan Akustika Nada pada Jurusan Karawitan STSI Bandung. Kini materi penelitian PSTK-ITB tersebut diangkat sebagai metoda kupas dari analisis naskah penelitian Tim Indonesia (di bawah pimpinan Dr. Sri Hastanto; mantan Direktur ASKI Surakarta 1986-1988, dan mantan Ketua STSI Surakarta 1988-1997) dalam SONIC ORDER ON ASEAN TRADITIONAL MUSIC RESEARCH, yang sedang dikerjakan sejak bulan Agustus 1998 hingga bulan Maret 1999 nanti.
PERAN SERTA CONDUCIVE WARGA PERGURUAN TINGGI NON SENI DALAM MEMBIDANI KELAHIRAN DAN MEMBERDAYAKAN PENDIDIKAN TINGGI SENI TRADISIONAL
PERAN SERTA CONDUCIVE WARGA PERGURUAN TINGGI NON SENI DALAM MEMBIDANI KELAHIRAN DAN MEMBERDAYAKAN PENDIDIKAN TINGGI SENI TRADISIONAL
Di dasawarsa kedua usia Republik Indonesia terlihat kiprah peran serta conducive kaum kelas menengah baru Indonesia dalam upaya pemberdayaan seni tradisional pun semakin meningkat, menyusuli kiprah upaya pemberdayaan potensi pendidikan tinggi seni rupa yang telah hadir lebih awal di tahun 1949, melalui pemberdirian Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) yang diresmikan 15 Desember 1949 oleh Menteri PP & K Sarino Mangunsarkoro. Kelas menengah pemberdaya seni tradisional itu terdiri dari warga perguruan tinggi non seni yang berasal dari beberapa kampus.
Muncullah kemudian dari kampus-kampus tersebut nama-nama mahasiswa dan mahasiswi, yang di kelak kemudian hari ikut membidani kelahiran perguruan-perguruan tinggi seni di Indonesia. Di antara mereka terdapat nama Edi Sedyawati (penari Jawa alusan yang kala itu adalah mahasiswi jurusan Arkeologi Fakultas Sastra UI, dan kini menjadi Dirjen Kebudayaan DEPDIKBUD), Sudarsono (penari Jawa gagahan dan kala itu adalah mahasiswa Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UGM, dan pernah menjadi Direktur ASTI Yogyakarta dan Rektor ISI Yogyakarta), Sedyono Humardani (penari Jawa gagahan dan sekaligus alusan, yang kala itu adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran UNDIP dan pernah menjadi Direktur ASKI Surakarta), dan Saini Kosim (pemain band dan penulis naskah drama terkenal dan kala itu adalah mahasiswa Jurusan Sastra Inggris IKIP Bandung yang pernah menjadi Direktur ASTI Bandung, dan kini Direktur Kesenian DEPDIKBUD).
Nama-nama perguruan tinggi seni negeri yang berhasil mereka bidani kelahirannya dan juga kemudian berhasil mereka berdayakan dalam upaya pemberdayaan seni tradisional adalah Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Yogyakarta yang diresmikan Menteri PD & K Prijono tanggal 30 November 1963; Akademi Musik Indonesia (AMI) Yogyakarta yang didirikan 13 Juli 1964; Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta, didirikan 15 Juli 1964; Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Padang Panjang yang diresmikan Menteri PD & K Ny. Artati Marzuki Sudirdjo pada tanggal 22 Desember 1965; Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Denpasar, didirikan tanggal 7 Agustus 1969; dan Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bandung yang didirikan 15 Januari 1970.
Sampai awal tahun 1970-an kelima perguruan tinggi seni tradisional di atas belum menghasilkan seorang pun sarjana seni pertunjukkan non IKIP. Karenanya hingga saat itu kehadiran sarjana-sarjana bidang non seni dalam menggeluti kegiatan seni tradisional selalu disambut hangat dan dihormati masyarakat, serta dinilai positif sebagai upaya mempertinggi martabat seni tradisional.
Di dasawarsa kedua usia Republik Indonesia terlihat kiprah peran serta conducive kaum kelas menengah baru Indonesia dalam upaya pemberdayaan seni tradisional pun semakin meningkat, menyusuli kiprah upaya pemberdayaan potensi pendidikan tinggi seni rupa yang telah hadir lebih awal di tahun 1949, melalui pemberdirian Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) yang diresmikan 15 Desember 1949 oleh Menteri PP & K Sarino Mangunsarkoro. Kelas menengah pemberdaya seni tradisional itu terdiri dari warga perguruan tinggi non seni yang berasal dari beberapa kampus.
Muncullah kemudian dari kampus-kampus tersebut nama-nama mahasiswa dan mahasiswi, yang di kelak kemudian hari ikut membidani kelahiran perguruan-perguruan tinggi seni di Indonesia. Di antara mereka terdapat nama Edi Sedyawati (penari Jawa alusan yang kala itu adalah mahasiswi jurusan Arkeologi Fakultas Sastra UI, dan kini menjadi Dirjen Kebudayaan DEPDIKBUD), Sudarsono (penari Jawa gagahan dan kala itu adalah mahasiswa Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UGM, dan pernah menjadi Direktur ASTI Yogyakarta dan Rektor ISI Yogyakarta), Sedyono Humardani (penari Jawa gagahan dan sekaligus alusan, yang kala itu adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran UNDIP dan pernah menjadi Direktur ASKI Surakarta), dan Saini Kosim (pemain band dan penulis naskah drama terkenal dan kala itu adalah mahasiswa Jurusan Sastra Inggris IKIP Bandung yang pernah menjadi Direktur ASTI Bandung, dan kini Direktur Kesenian DEPDIKBUD).
Nama-nama perguruan tinggi seni negeri yang berhasil mereka bidani kelahirannya dan juga kemudian berhasil mereka berdayakan dalam upaya pemberdayaan seni tradisional adalah Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Yogyakarta yang diresmikan Menteri PD & K Prijono tanggal 30 November 1963; Akademi Musik Indonesia (AMI) Yogyakarta yang didirikan 13 Juli 1964; Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta, didirikan 15 Juli 1964; Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Padang Panjang yang diresmikan Menteri PD & K Ny. Artati Marzuki Sudirdjo pada tanggal 22 Desember 1965; Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Denpasar, didirikan tanggal 7 Agustus 1969; dan Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bandung yang didirikan 15 Januari 1970.
Sampai awal tahun 1970-an kelima perguruan tinggi seni tradisional di atas belum menghasilkan seorang pun sarjana seni pertunjukkan non IKIP. Karenanya hingga saat itu kehadiran sarjana-sarjana bidang non seni dalam menggeluti kegiatan seni tradisional selalu disambut hangat dan dihormati masyarakat, serta dinilai positif sebagai upaya mempertinggi martabat seni tradisional.
PEMBERDAYAAN SENI TRADISIONAL DI ERA PRA DAN PASCA PROKLAMASI KEMERDEKAAN RI
PEMBERDAYAAN SENI TRADISIONAL DI ERA PRA DAN PASCA PROKLAMASI KEMERDEKAAN RI
Dalam kehidupan masyarakat di pusat pemerintahan kerajaan-kerajaan (kraton) Indonesia pada era pra proklamasi kemerdekaan R.I. tahun 1945, seni tradisional sungguhlah berdaya dan sekaligus berjaya. Dalam tata masyarakat kraton tersebut terdapat lapis kelas menengah masyarakat yang diberi tugas oleh raja untuk terus-menerus membina dan mengembangkan seni tradisional. Mereka ini adalah para pujangga dan budayawan kraton, yang digaji, diberi pangkat, dan status kebangsawanan yang cukup tinggi. Melalui tangan-tangan para budayawan-bangsawan kraton inilah sebenarnya telah berlangsung proses pemberdayaan seni tradisional beserta segenap nilai adi-luhungnya selama berabad-abad, secara sistematis, terwaris sinambung turun-temurun dan lestari.
Di era selanjutnya, pasca proklamasi kemerdekaan R.I. 1945, terjadilah perubahan pada tata pemerintahan mereka, dari bentuk kerajaan-kerajaan di bawah jajahan Belanda, menjadi daerah-daerah di bawah naungan Republik Indonesia. Tata bermasyarakat kerajaan otomatis menjadi berakhir, dan kelompok bangsawanpun sudah tidak lagi sebagai kelas menengah masyarakat baru dari suatu negara yang berbentuk republik. Haruskah kesinambungan kerja keras turun-temurun yang dirintis para budayawan-bangsawan dalam memberdayakan seni tradisional ini juga berakhir seiring dengan berakhirnya peran kelas menengah kraton yang mereka sandang selama ini ?
Jawab atas pertanyaan ini haruslah berbunyi tidak, bilamana dikehendaki tetap hadir kokohnya keberadaan bangsa Indonesia beserta keutuhan jati dirinya. Kesinambungan kerja keras dalam memberdayakan seni tradisional ini harus berlanjut. Untuk itu tetap diperlukan hadirnya langkah kiprah kaum kelas menengah baru Indonesia pasca proklamasi, yaitu para warga negara Indonesia yang berpendidikan tinggi, baik yang masih terikat formal dengan kampus pendidikan tinggi, yaitu dosen, mahasiswa maupun staf administrasi, maupun alumni perguruan tinggi yang menekuni profesi pengabdian di luar lingkungan kampus.
Dalam kehidupan masyarakat di pusat pemerintahan kerajaan-kerajaan (kraton) Indonesia pada era pra proklamasi kemerdekaan R.I. tahun 1945, seni tradisional sungguhlah berdaya dan sekaligus berjaya. Dalam tata masyarakat kraton tersebut terdapat lapis kelas menengah masyarakat yang diberi tugas oleh raja untuk terus-menerus membina dan mengembangkan seni tradisional. Mereka ini adalah para pujangga dan budayawan kraton, yang digaji, diberi pangkat, dan status kebangsawanan yang cukup tinggi. Melalui tangan-tangan para budayawan-bangsawan kraton inilah sebenarnya telah berlangsung proses pemberdayaan seni tradisional beserta segenap nilai adi-luhungnya selama berabad-abad, secara sistematis, terwaris sinambung turun-temurun dan lestari.
Di era selanjutnya, pasca proklamasi kemerdekaan R.I. 1945, terjadilah perubahan pada tata pemerintahan mereka, dari bentuk kerajaan-kerajaan di bawah jajahan Belanda, menjadi daerah-daerah di bawah naungan Republik Indonesia. Tata bermasyarakat kerajaan otomatis menjadi berakhir, dan kelompok bangsawanpun sudah tidak lagi sebagai kelas menengah masyarakat baru dari suatu negara yang berbentuk republik. Haruskah kesinambungan kerja keras turun-temurun yang dirintis para budayawan-bangsawan dalam memberdayakan seni tradisional ini juga berakhir seiring dengan berakhirnya peran kelas menengah kraton yang mereka sandang selama ini ?
Jawab atas pertanyaan ini haruslah berbunyi tidak, bilamana dikehendaki tetap hadir kokohnya keberadaan bangsa Indonesia beserta keutuhan jati dirinya. Kesinambungan kerja keras dalam memberdayakan seni tradisional ini harus berlanjut. Untuk itu tetap diperlukan hadirnya langkah kiprah kaum kelas menengah baru Indonesia pasca proklamasi, yaitu para warga negara Indonesia yang berpendidikan tinggi, baik yang masih terikat formal dengan kampus pendidikan tinggi, yaitu dosen, mahasiswa maupun staf administrasi, maupun alumni perguruan tinggi yang menekuni profesi pengabdian di luar lingkungan kampus.
KEBUDAYAAN NASIONAL INDONESIA DARI SISI GAGASAN DAN MATERIAL
KEBUDAYAAN NASIONAL INDONESIA
DARI SISI GAGASAN DAN MATERIAL
I. PENDAHULUAN
Kebudayaan Nasional Indonesia didefinisikan adalah kebudayaan hasil produk setelah adanya Sumpah Pemuda (1928) atau sesudah Indonesia Merdeka (1945). Sebagai pendampingnya adalah kebudayaan yang ada di Indonesia. Kebudayaan yang ada di Indonesia ini juga dapat dibagi dua yaitu kebudayaan etnik, seperti etnik Batak (Toba, Karo, Mandailing, Pakpak, Simalungun), Melayu, Bali, Aceh, Minang, Sunda, Betawi, Jawa, Sulawesi, sampai ke Papua (Irianjaya) dan lainnya serta kebudayaan asing, seperti Arab, Belanda, Inggris dan lainnya.
Pada Pasal 32, UUD 45, sebelum diamandemen dijelaskan Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia. Pengertian kebudayaan nasional Indonesia ini, dijelaskan dalam penjelasan tentang Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yaitu kebudayaan bangsa. Kebudayaan bangsa dijelaskan adalah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budi-daya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab budaya dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.
Berdasarkan penjelasan yang diberikan pasal 32 di atas, terdapat perbedaan istilah antara pasal 32 dengan penjelasannya. Pada pasal 32 disebut istilah kebudayaan nasional Indonesia, sedangkan pada penjelasan disebut kebudayaan bangsa. Kebudayaan bangsa ini dijelaskan adalah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budi-daya rakyat Indonesia seluruhnya.
Adanya perbedaan istilah ini, dimaknai bahwa pengertian Kebudayaan Nasional Indonesia, pada saat UUD 45 tersebut disusun dianggap belum ada, yang ada baru kebudayaan bangsa, yaitu kebudayaan lama dan asli (etnik) yang terdapat di Indonesia, dan ini sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah (etnik) di seluruh Indonesia.
Padahal dalam UUD 45 tersebut, Kebudayaan Nasional Indonesia yang jelas-jelas telah ada yaitu dasar negara Pancasila UUD 45 itu sendiri (wujud gagasan), Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) (pasal 1), lembaga MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) (pasal 2), lembaga kepresidenan (Bab III), lembaga DPA (dewan Pertimbangan Agung) pasal 16), DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) (pasal 19), Bendera dan Bahasa, Bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah Putih (pasal 35), Bahasa negara ialah Bahasa Indonesia (Pasal 36) dan lainnya dalam bentuk material kebudayaan. Ini sudah nyata menjadi Kebudayaan Nasional Indonesia, tetapi ini tidak disebut-sebut dan dimasukkan ke dalam pasal, 32 tersebut.
Maka mengikut penjelasan tentang undang-undang dasar negara Indonesia di atas yang mana sebenarnya Kebudayaan Nasional Indonesia itu dalam bentuk konkritnya belum jelas, yang ada baru unsur pendukungnya yaitu kebudayaan etnik dan kebudayaan asing.
Lalu bagaimana pengertian Kebudayaan Nasional Indonesia berdasarkan UUD 45 yang telah diamandemen?
Pada Pasal 32, UUD 45, hasil amandemen pun sama saja dengan Pasal 32, UUD 45, sebelum diamandemen. Pada pasal 32, UUD 45, amandemen dijelaskan (1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradapan dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan pengembangkan nilai-nilai budayanya, (2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.
Pengertian kebudayaan nasional Indonesia tersebut juga tidak mendapat penjelasan, yang mana kebudayaan nasional Indonesia dan yang mana kebudayaan bukan nasional Indonesia. Hanya saja bagaimana bentuk material kebudayaan nasional Indonesia tidak dijelaskan.
Padahal Kebudayaan Nasional Indonesia juga jelas-jelas telah ada yaitu pada uud 45 yang diamandemen tersebut yaitu dasar negara Pancasila dan UUD 45 itu sendiri (wujud gagasan), Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) (pasal 1), lembaga MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) (pasal 2), lembaga kepresidenan (Bab III), Dewan Perwakilan Daerah (Bab VIIA), DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) (Bab VII), Bendera, Bahasa, dan lembang negara serta lagu kebangsaan (Bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah Putih (pasal 35), Bahasa negara ialah Bahasa Indonesia (Pasal 36) lambang negara garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika (pasal 36A), Lagu kebangsaan Indonesia Raya (Pasal 36B) dan lainnya seperti sistem pendidikan nasional, sistem pertahanan dan keamanan negara, penghormatan dan penghargaan kepada hak asasi manusia yang mendidik warganya selain mempunyai hak juga mempunyai tanggung jawab, semua ini dalam bentuk material kebudayaan. Ini sudah nyata menjadi Kebudayaan Nasional Indonesia, tetapi ini tidak disebut-sebut dan dimasukkan ke dalam pasal, 32 tersebut. (Penafsiran atas UUD 45 yang diamandemen ini saya susun dengan belum membaca penjelasan dari UUD 45 yang diamandemen tersebut)
II. WUJUD KEBUDAYAAN
Menurut E.B Taylor (Sulaeman, 1995: ) kebudayaan atau yang disebut peradapan, mengandung pengertian yang luas, meliputi pemahaman perasaan suatu bangsa yang kompleks meliputi pengetahuan, kepercayaan seni, moral, hukum, adat istiadat (kebiasaan), dan pembawaan lainnya yang diperoleh dari anggota masyarakat.
Sedangkan Kroeber dan Klukhon (Bakker, 1984:15-19) mengajukan definisi kebudayaan, adalah kebudayaan terdiri atas berbagai pola, bertingkah laku mantap, pikiran, perasaan dan reaksi yang diperoleh dan terutama diturunkan oleh simbol-simbol yang menyusun pencapainnya secara tersendiri dari kelompok-kelompok manusia, termasuk di dalamnya perwujudan benda-benda materi. Pusat esensi kebudayaan terdiri atas tradisi cita-cita atau paham dan terutama keterikatan terhadap nilai-nilai. Ketentuan-ketentuan ahli kebudayaan ini sudah bersifat universal, dapat diterima oleh pendapat umum meskipun dalam praktek, arti kebudayaan menurut pendapat umum ialah sesuatu yang berharga atau baik.
Sedangkan Herkovits mengajukan teori kebudayaan sebagai berikut (1) kebudayaan dapat dipelajari, (2) berasal atau bersumber dari segi biologis, lingkungan, psikologis, dan komponen sejarah eksistensi manusia, (3) mempunyai struktur, (4) dapat dipecah-pecah ke dalam berbagai aspek, (5) bersifat dinamis, (6) mempunyai variabel, (7) memperlihatkan keteraturan yang dapat dianalisis dengan metode ilmiah, (8) merupakan alat bagi seseorang (individu) untuk mengatur keadaan totalnya dan menambah arti bagi kesan kreatifnya.
Tetapi secara umum, setiap kebudayaan mempunyai wujud, apakah itu disebut wujud ide atau gagasan, maupun wujud materi sebagai benda-benda hasil karya. Kebudayaan dalam pengertian luas, pun demikian, tetap mempunyai wujud
Secara umum wujud kebudayaan dapat juga dibagi atas empat yaitu:
a. wujud kebudayaan sebagai suatu ide-ide, cita-cita, rencana-rencana, gagasan-gagasan, keinginan, kemauan. Ini adalah wujud ideal yang berfungsi memberi arah pada tingkah laku manusia di dalam di kehidupannya.
b. wujud kebudayaan sebagai nilai-nilai, norma-norma, peraturan, pedoman, cara-cara dan sebagainya. Ini adalah wujud yang berfungsi mengatur, mengendalikan dan penunjuk arah pada tingkah laku manusia di dalam bermasyarakat.
c. wujud kebudayaan suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia. Wujud ini disebut juga sistem sosial yaitu sistem yang mengatur, menata aktivitas-aktivitas manusia dalam berinteraksi, bergaul.
d. wujud kebudayaan benda-benda hasil karya manusia. Wujud kebuda-yaan ini merupakan benda-benda yang dapat diraba, dilihat melalui pancaindra, seperti mobil, kapal dsbnya.
Sebagai contoh kasus adalah pembangunan Indonesia, sebagai kebudayaan, dilihat dari keempat wujud di atas adalah sebagai berikut:
Wujud
Kategori
Wujud Cita-Cita
Membangun masyarakat Indonesia berdasarkan undanguUndang dasar 45.
Wujud Arahan
GBHN (Orde Baru), Orde Reformasi (janji-janji pemenang pada kampanye pilkada atau pilpres).
Wujud Aktivitas
Budaya politik, tingkah laku atau aktivitas lainnya.
Wujud Benda
Hasil yang dicapai melalui aktivitas budaya politik, seperti pembangunan gedung sekolah, jembatan, pembangunan jalan dan sebagainya.
III. KEBUDAYAAN NASIONAL INDONESIA
Bila dicermati pandangan masyarakat Indonesia tentang kebudayaan Indonesia, ada dua kelompok pandangan.
1.Kelompok pertama yang mengatakan kebudayaan Nasional Indonesia belum jelas, yang ada baru unsur pendukungnya yaitu kebudayaan etnik dan kebudayaan asing. Kebudayaan Indonesia itu sendiri sedang dalam proses pencarian.
2.Kelompok kedua yang mengatakan mengatakan Kebudayaan Nasional Indonesia sudah ada. pendukung kelompok ketiga ini antara lain adalah Sastrosupono. Sastrosupono. Sastrosupono. Sastrosupono mencontohkan, Pancasila, bahasa Indonesia, undang-undang dasar 1945, moderenisasi dan pembangunan (1982:68-72).
Adanya pandangan yang mengatakan Kebudayaan Nasional Indonesia belum ada atau sedang dalam proses mencari, boleh jadi akibat (1) tidak jelasnya konsep kebudayaan yang dianut dan pahami, (2) akibat pemahaman mereka tentang kebudayaan hanya misalnya sebatas seni, apakah itu seni sastra, tari, drama, musik, patung, lukis dan sebagainya. Mereka tidak memahami bahwa iptek, juga adalah produk manusia, dan ini termasuk ke dalam kebudayaan.
Tulisan ini mencoba berpendapat, seperti pendapat kedua bahwa Kebudayaan Nasional Indonesia itu sudah ada dan memisahkannya dari kebudayaan yang ada di Indonesia. Alat pengindentifikasiannya adalah wujud ide dan wujud material.
3.1 Wujud Ide (Cita-Cita)
Wujud ide ini dipelopori oleh Gerzt. Gerzt melihat kebudayaan sebagai keseluruhan pengetahuan yang dimiliki manusia untuk mengintepretasi dan mewujudkan tindakan-tindakan dalam rangka menghadapi lingkungan alam dan sosialnya. Gerzt hanya membatasi pengertian kebudayaan kepada keseluruhan pengetahuan yang dimiliki manusia, perilaku dan benda-benda tidak lagi dianggap sebagai kebudayaan, melainkan sebagai hal-hal yang diatur atau ditata oleh kebudayaan.
Pengetahuan yang dimiliki manusia pada dasarnya merupakan berbagai model pengetahuan yang didapat melalui proses belajar dan pengalamannya. Berbagai model pengetahuan ada yang saling berhubungan, ada yang saling mendukung, tetapi ada juga saling bertentangan. Model-model yang tidak selalu terintegrasi ini sering digunakan dalam konteks dan situasi-situasi sosial tertentu sesuai dengan interpretasinya terhadap situasi yang dihadapinya.
Keseluruhan pengetahuan yang bersifat abstrak ini, agar lebih operasional diwujudkan ke dalam apa yang disebut pranata-pranata sosial yang dikembangkan oleh kelompok masyarakat. Pranata-pranata tersebut merupakan rangkaian aturan-aturan yang menata kegiatan-kegiatan manusia dalam bidang-bidang kehidupan tertentu.
Dalam konsepsi seperti ini, manusia tidak dilihat sebagai mahluk yang melulu diatur oleh kebudayaannya dalam melangsungkan hidupnya, tetapi sebagai mahluk yang mampu menseleksi dan memanipulasi model-model pengetahuan kebudayaan yang tersedia. Model-model yang akan diseleksi atau dimanipulasinya sangat dipengaruhi oleh situasi dan interpretasinya.
Berdasarkan definisi di atas, definisi Kebudayaan Nasional Indonesia berdasarkan sisi ide dapat dijelaskan semua pola atau cara berfikir/merasa bangsa Indonesia dalam suatu ruangan dan waktu. Pola atau cara berfikir/merasa ini dapat dimulai sesudah adanya Sumpah Pemuda (1928) atau sesudah Indonesia Merdeka (1945) hingga saat ini. Pilihan angka tahun ini (1928) karena, pada masa ini sudah tumbuh keinginan untuk bersatu (cara berfikir/merasa yang seragam untuk mencapai cita-cita atau tujuan bersama) ke dalam sebuah negara. Keinginan ini kemudian wujudkan pada tahun 1945 (kemerdekaan Indonesia).
Perkembangan lebih lanjut dari buah kemerdekaan ini dapat dilihat pada gagasan misalnya gagasan pendidikan nasional, gagasan ekonomi nasional, politik nasional, kesenian nasional, filsafat nasional dan lainnya.
Kebudayaan Nasional Indonesia Dalam Pandangan dan Sisi Ide
Uraian Keterangan
Bentuk Konkrit Ide, Gagasan-Gaasan, Norma-norma
Penciptanya Cendekiawan Indonesia
Lokasinya Dalam Wilayah Indonesia
Mulai
Hingga Indonesia Merdeka (1945) atau Boleh Juga Setelah Sumpah Pemuda (1928)
Berakhir Hingga Indonesia Bubar
Sifatnya Pola Pikir dan Pola Merasa Diserap melalui Difusi, Akulturasi, dll
Sumber Inspirasi Kebudayaan Etnis dan Asing
Kriteria Disepakati Bangsa Indonesia Sebagai Bagian Dari Budaya Indonesia
Fungsi 1. Alat Pemersatu Bagi Etnik Yang Berbeda-beda.
2. Lambang Kebanggan Nasional
3. Lambang Identitas nasional.
3.2 Wujud Materil
Materialisme adalah salah satu paham yang beranggapan bahwa manusia hidup di dunia adalah hasil rekayasa materi. Artinya selagi seorang manusia hidup di dunia, dia sebenarnya hidup di dunia materi. Dia mau hidup, harus makan, dia mau menata sistem nilai dan budayanya harus menggunakan alat (materi).
Materialisme berpandangan kebudayaan adalah hasil dari kumpulan pikiran-pikiran yang dipelajari dan kelakuan-kelakuan yang diperlihatkan oleh anggota-anggota dari kelompok sosial masyarakat, yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pandangan materialisme ini berkaitan dengan hubungan manusia dengan lingkungannya, oleh Marvin Harris, disebut variabel yang bersifat empiris dan ini diistilahkan dengan tekno-ekonomi dan tekno-lingkungan. Kebudayaan bukanlah hal-hal yang irasional, yang tidak dapat dimengerti, yang penuh dengan subyektifitas, tetapi bersifat material, dapat jelas dan dapat diukur.
Dalam kaitan ini, kebudayaan didefinisikan adalah sebagai kumpulan dari pikiran-pikiran yang dipelajari dan kelakuan-kelakuan yang diperlihatkan oleh anggota-anggota dari kelompok-kelompok sosial. Semua ini diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kebudayaan terlepas dari faktor hereditas genetika.
Berdasarkan pengertian di atas, definisi Kebudayaan Nasional Indonesia berdasarkan sisi materialisme budaya adalah produk dari suatu bangsa dalam suatu ruangan dan waktu. Penjabaran hal ini dapat dilihat pada produk suatu bangsa tersebut misalnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), lembaga MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), lembaga kepresidenan, DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), Dewan Perwakilan Daerah, sistem pendidikan nasional, sistem politik nasional, sistem hukum nasional, bangunan arsitektur, produk kesenian, teknologi, bahasa Indonesia, bendera nasional, lagu kebangsaan, lambang negara garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika dan lainnya. Maka definisi Kebudayaan Nasional Indonesia berdasarkan sisi material adalah semua produk yang dihasilkan bangsa Indonesia baik yang dikembangkan di luar Indonesia, maupun yang dikembangkan di Indonesia, yang tumbuh dan berkembang sejak Indonesia merdeka (1945) atau sesudah Sumpah Pemuda (1928) hingga saat ini, apakah itu diserap dari kebudayaan etnik maupun kebudayaan asing, baik melalui proses difusi, akulturasi yang disepakati menjadi bagian dari milik nasional di dalam negara kesatuan RI.
Kebudayaan Nasional Indonesia Dalam Pandangan dan Sisi Material
Urian Keterangan
Bentuk Konkrit Produk/Ciptaan (Material)
Penciptanya Bangsa Indonesia
Lokasinya Dalam/Luar Negeri
Mulai Boleh Dimulai Setelah Sumpah Pemuda (1928) atau Sejak Indonesia Merdeka (1945)
Berakhir Hingga Indonesia Bubar
Sumber Inspirasi Kebudayaan di Indonesia dan Asing
Kriteria Disepakati Bangsa Indonesia Sebagai Bagian Tujuan Bersama Yang Hendak Dicapai.
Fungsi
1. Lambang Kebanggan Nasional.
2. Lambang Identitas Nasional
3. Alat Pemersatu Bagi Etnik Yang Berbeda-beda.
IV. MASALAH DALAM KEBUDAYAAN NASIONAL
Masalah dalam Kebudayaan Nasional Indonesia saat ini adalah tidak sesuainya perilaku dengan gagasan atau ide nasioan yang dibangun. Sebagai contoh, Pancasila dan UUD 45 sebagai pandangan hidup dan dasar negara beserta normatifnya sudah bagus, tetapi di lapangan aktivitas sehari-hari justru kerap tidak sejalan. Lain dalam tataran gagasan lain dalam tataran perilaku. Contoh nyata masalah penghargaan kepada kebhinekaan atau pluralitas atau kemajemukan. Kita sepakat bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang pluralis dalam segala hal. Normatifnya penghargaan kita terhadap kebhinekaan totalitas, artinya tidak ada satu kelompok pun, apakah itu karena faktor etnis atau budaya atau agama yang dipinggirkan. Namun penghargaan tersebut dalam tingkatan aktivitas tidak demikian. Masih kerap kita dengar etnis tertentu, penganut agama tertentu, aksesnya ke bidang-bidang tertentu dimarjinalkan, dipinggirkan, dijadikan warganegara kelas 2 atau kelas 3, hanya faktor karena etnis, faktor agama dan lainnya. Alasan peminggiran karena faktor agama, karena tidak sesuai dengan ajaran agama yang sedang dianut. Penyesuaian ini dikatakan karena Tuhan mensyaratkan demikian. Tetapi bila ditanya mana bukti material Tuhan mengatakan demikian tidak pernah ada. Artinya belum pernah ada mandat yang diberikan Tuhan secara faktual kepada manusia untuk mewakili diriNya sebagao pencipta, yang ada hanyalah mandat non material. Mandat seperti ini susah membuktikannya karena lebih banyak berdasarkan mimpi atau tafsiran atau pengkultusan, sementara di sisi lain, material kehidupan tidak seperti itu, karena material kehidupan ini adalah faktual, seharusnya tidak perlu terjadi pemarjinalan karena faktor agama tersebut. Idealnya memang demikian, kenyataannya tidak demikian. Inilah contoh perilaku kelompok tertentu di Indonesia yang tidak sesuai dengan Kebudayaan Nasional Indonesia, baik dalam tingkat gagasan, maupun material, sebab tidak ada undang-undang produk Indonesia yang berisi diskriminatif tersebut. Tetapi budaya politik yang dikembangkan bersifat diskriminatif.
Perilaku korupsi, bermental atau berkarakter monyet, menunggangi masyarakat untuk kepentingan yang tidak sesuai dengan kemajemukan Indonesia adalah beberapa perilaku yang belum sesuai dengan Kebudayaan Nasional Indonesia dari sisi gagasan.
V. SIMPULAN
Kebudayaan di Indonesia adalah kebudayaan etnik dan kebudayaan asing, sedangkan Kebudayaan Nasional Indonesia adalah hasil kreasi bangsa Indonesia sejak Sumpah Pemuda atau sejak Indonesia merdeka.
Kebudayaan nasional Indonesia adalah semua yang dikategorikan sistem nasional apakah itu berbentuk gagasan kolektif, berbentuk material seperti sistem pendidikan, sistem politik, sistem hukum, dan sistem lainnya dan berbentuk perilaku seperti menghargai kemajemukan, atau pluralitas, menunjung hak dan kewajiban adalah kebudayaan nasional Indonesia.
Secara nyata gagasan kolektif dan material kebudayaan nasional Indonesia sudah ada. Kebudayaan nasional Indonesia saat ini:
No Kategori Penjelasan
1
Sudah Terbentuk
seperti antara lain bentuk negara Indonesia, Pancasila dan UUD 45 sebagai pandangan hidup dan dasar negara, bahasa Indonesia, produk-produk hukum selama indonesia merdeka, teknologi yang diambil dari luar, pendidikan, moderenisasi dalam segala lapangan, sistem politik, sistem hukum, kesenian seperti musik dengan variasinya yang digandrungi dengan melewati batas agama, suku, daerah, pendidikan dan status sosial, tanpa mempersoalkan asal-usul asal budaya tersebut, dan sebagainya.
2
Dalam Proses Pembentukan misalnya semangat berdemokrasi. Negara Indonesia dikatakan menganut demokrasi Pancasila, namun dalam kenyataannya sering berubah menjadi demokrasi jalanan dalam bentuk demonstrasi, semangat demokrasi seperti ini belum semangat demokrasi dari seorang yang demokrat
3
Dalam Proses Pencarian
misalnya hubungan antar umat beragama, sebab hubungan antar umat beragama masih sering terjadi gesekan-gesekan yang memaksa seseorang berpulang kembali ke dalam kelompoknya. Dalam tahapan yang lebih rendah, hubungan antar etnis/suku. Dalam hubungan antar etnis/suku ini, pada beberapa wilayah terjadi gesekan-gesekan, kasus konflik suku di Kalimantan beberapa tahun yang lalu, imbas konflik di Ambon dengan istilah BBM (Buton Bugis Makasar, bentrokan antar suku yang masih kerap terjadi di Papua.
Berdasarkan wujud ide definisi kebudayaan adalah semua pola atau cara berfikir/merasa bangsa dalam suatu ruangan dan waktu. Pengertian ini dikembangkan ke dalam kebudayaan Indonesia menjadi Kebudayaan Nasional Indonesia semua pola atau cara berfikir/merasa bangsa Indonesia yang sama terhadap kelangsungan hidupnya di dalam sebuah negara.
Sedangkan kebudayaan nasional Indonesia berdasarkan wujud material adalah produk dari suatu bangsa dalam suatu ruangan dan waktu. Misalnya semua produk bangsa Indonesia baik yang dikembangkan di luar negeri, maupun yang dikembangkan di dalam negeri, yang tumbuh dan berkembang sejak Indonesia Indonesia merdeka (1945) atau sesudah Sumpah Pemuda (1928) hingga saat ini, apakah itu yang diserap dari kebudayaan etnik maupun kebudayaan asing, baik melalui proses difusi, akulturasi yang disepakati menjadi bagian dari alat mencapai tujuan nasional bersama di dalam negara kesatuan RI. Darimana asal kebudayaan ini tidak dipersoalkan, selagi bentuk kebudayaan yang diserap itu mampu mempersatukan dan mempererat persatuan dan kesatuan, itulah Kebudayaan Nasional Indonesia.
Masalah dalam Kebudayaan Nasional Indonesia saat ini, ada dalam tatataran aksi. Masih banyak perilaku dari masyarakat Indonesia, terutama dari kalangan elit – maaf mungkin terlalu kasar istilah ini - seperti monyet, tidak bisa membedakan mana yang telah sesuai atau baik berdasarkan kemajemukan masyarakat Indonesia, mana yang tidak baik. Bila sesuatu itu tidak sesuai dengan kepentingannya, apakah kepentingan pribadi atau kepentingan kelompoknya, kondisi yang sudah baik tersebut pun “tega” dirusak. Kalau tidak dirusak secara fisik (material), dirusak secara ideologi dengan istilah kafir, sesat, walaupun mereka ini bukan berperilaku kriminal, atau bukan beragama X dan isme-isme. Contoh lain adalah black campaign, pada waktu pemilihan Presiden dan dan sejumlah pemilihan kepada daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Bakker. 1984. Filsafat Kebudayaan: Sebuah Pengantar. Yogyakarta-Jakarta: Penerbit Kanisius dan BPK Gunung Mulia.
Brahmana, Pertampilan S. 1996. Materialisme Budaya Sebagai Suatu Pemahaman Perubahan Budaya. Karya Tulis Pada Program Magister Kajian Budaya UNUD.
Brahmana, Pertampilan S. 1997. Gagasan Kebudayaan Nasional Dalam Masa Kolonial: Dalam Perkembangan Masyarakat. Karya Tulis Pada Program Magister Kajian Budaya UNUD.
Brahmana, Pertampilan S. 1997. Awal Pertumbuhan Kebudayaan Nasional Indonesia. Karya Tulis Pada Program Magister Kajian Budaya UNUD.
Sastrosupono M, Suprihadi. 1982. Menghampiri Kebudayaan. Bandung: Penerbit Alumni.
Sulaeman, Munandar. 1995. Ilmu Budaya Dasar Suatu Pengantar. Bandung: Penerbit PT. ERESCO.
UUD 45 Sebelum di Amandemen dengan penjelasan.
UUD 45 Sesudah di Amandemen tanpa penjelasan.
Penulis Staf Pengajar Pada Fak. Sastra Universitas Sumatera Utara Medan . Magister dengan Pengkhususan Sistem Pengendalian Sosial.
DARI SISI GAGASAN DAN MATERIAL
I. PENDAHULUAN
Kebudayaan Nasional Indonesia didefinisikan adalah kebudayaan hasil produk setelah adanya Sumpah Pemuda (1928) atau sesudah Indonesia Merdeka (1945). Sebagai pendampingnya adalah kebudayaan yang ada di Indonesia. Kebudayaan yang ada di Indonesia ini juga dapat dibagi dua yaitu kebudayaan etnik, seperti etnik Batak (Toba, Karo, Mandailing, Pakpak, Simalungun), Melayu, Bali, Aceh, Minang, Sunda, Betawi, Jawa, Sulawesi, sampai ke Papua (Irianjaya) dan lainnya serta kebudayaan asing, seperti Arab, Belanda, Inggris dan lainnya.
Pada Pasal 32, UUD 45, sebelum diamandemen dijelaskan Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia. Pengertian kebudayaan nasional Indonesia ini, dijelaskan dalam penjelasan tentang Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yaitu kebudayaan bangsa. Kebudayaan bangsa dijelaskan adalah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budi-daya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab budaya dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.
Berdasarkan penjelasan yang diberikan pasal 32 di atas, terdapat perbedaan istilah antara pasal 32 dengan penjelasannya. Pada pasal 32 disebut istilah kebudayaan nasional Indonesia, sedangkan pada penjelasan disebut kebudayaan bangsa. Kebudayaan bangsa ini dijelaskan adalah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budi-daya rakyat Indonesia seluruhnya.
Adanya perbedaan istilah ini, dimaknai bahwa pengertian Kebudayaan Nasional Indonesia, pada saat UUD 45 tersebut disusun dianggap belum ada, yang ada baru kebudayaan bangsa, yaitu kebudayaan lama dan asli (etnik) yang terdapat di Indonesia, dan ini sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah (etnik) di seluruh Indonesia.
Padahal dalam UUD 45 tersebut, Kebudayaan Nasional Indonesia yang jelas-jelas telah ada yaitu dasar negara Pancasila UUD 45 itu sendiri (wujud gagasan), Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) (pasal 1), lembaga MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) (pasal 2), lembaga kepresidenan (Bab III), lembaga DPA (dewan Pertimbangan Agung) pasal 16), DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) (pasal 19), Bendera dan Bahasa, Bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah Putih (pasal 35), Bahasa negara ialah Bahasa Indonesia (Pasal 36) dan lainnya dalam bentuk material kebudayaan. Ini sudah nyata menjadi Kebudayaan Nasional Indonesia, tetapi ini tidak disebut-sebut dan dimasukkan ke dalam pasal, 32 tersebut.
Maka mengikut penjelasan tentang undang-undang dasar negara Indonesia di atas yang mana sebenarnya Kebudayaan Nasional Indonesia itu dalam bentuk konkritnya belum jelas, yang ada baru unsur pendukungnya yaitu kebudayaan etnik dan kebudayaan asing.
Lalu bagaimana pengertian Kebudayaan Nasional Indonesia berdasarkan UUD 45 yang telah diamandemen?
Pada Pasal 32, UUD 45, hasil amandemen pun sama saja dengan Pasal 32, UUD 45, sebelum diamandemen. Pada pasal 32, UUD 45, amandemen dijelaskan (1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradapan dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan pengembangkan nilai-nilai budayanya, (2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.
Pengertian kebudayaan nasional Indonesia tersebut juga tidak mendapat penjelasan, yang mana kebudayaan nasional Indonesia dan yang mana kebudayaan bukan nasional Indonesia. Hanya saja bagaimana bentuk material kebudayaan nasional Indonesia tidak dijelaskan.
Padahal Kebudayaan Nasional Indonesia juga jelas-jelas telah ada yaitu pada uud 45 yang diamandemen tersebut yaitu dasar negara Pancasila dan UUD 45 itu sendiri (wujud gagasan), Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) (pasal 1), lembaga MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) (pasal 2), lembaga kepresidenan (Bab III), Dewan Perwakilan Daerah (Bab VIIA), DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) (Bab VII), Bendera, Bahasa, dan lembang negara serta lagu kebangsaan (Bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah Putih (pasal 35), Bahasa negara ialah Bahasa Indonesia (Pasal 36) lambang negara garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika (pasal 36A), Lagu kebangsaan Indonesia Raya (Pasal 36B) dan lainnya seperti sistem pendidikan nasional, sistem pertahanan dan keamanan negara, penghormatan dan penghargaan kepada hak asasi manusia yang mendidik warganya selain mempunyai hak juga mempunyai tanggung jawab, semua ini dalam bentuk material kebudayaan. Ini sudah nyata menjadi Kebudayaan Nasional Indonesia, tetapi ini tidak disebut-sebut dan dimasukkan ke dalam pasal, 32 tersebut. (Penafsiran atas UUD 45 yang diamandemen ini saya susun dengan belum membaca penjelasan dari UUD 45 yang diamandemen tersebut)
II. WUJUD KEBUDAYAAN
Menurut E.B Taylor (Sulaeman, 1995: ) kebudayaan atau yang disebut peradapan, mengandung pengertian yang luas, meliputi pemahaman perasaan suatu bangsa yang kompleks meliputi pengetahuan, kepercayaan seni, moral, hukum, adat istiadat (kebiasaan), dan pembawaan lainnya yang diperoleh dari anggota masyarakat.
Sedangkan Kroeber dan Klukhon (Bakker, 1984:15-19) mengajukan definisi kebudayaan, adalah kebudayaan terdiri atas berbagai pola, bertingkah laku mantap, pikiran, perasaan dan reaksi yang diperoleh dan terutama diturunkan oleh simbol-simbol yang menyusun pencapainnya secara tersendiri dari kelompok-kelompok manusia, termasuk di dalamnya perwujudan benda-benda materi. Pusat esensi kebudayaan terdiri atas tradisi cita-cita atau paham dan terutama keterikatan terhadap nilai-nilai. Ketentuan-ketentuan ahli kebudayaan ini sudah bersifat universal, dapat diterima oleh pendapat umum meskipun dalam praktek, arti kebudayaan menurut pendapat umum ialah sesuatu yang berharga atau baik.
Sedangkan Herkovits mengajukan teori kebudayaan sebagai berikut (1) kebudayaan dapat dipelajari, (2) berasal atau bersumber dari segi biologis, lingkungan, psikologis, dan komponen sejarah eksistensi manusia, (3) mempunyai struktur, (4) dapat dipecah-pecah ke dalam berbagai aspek, (5) bersifat dinamis, (6) mempunyai variabel, (7) memperlihatkan keteraturan yang dapat dianalisis dengan metode ilmiah, (8) merupakan alat bagi seseorang (individu) untuk mengatur keadaan totalnya dan menambah arti bagi kesan kreatifnya.
Tetapi secara umum, setiap kebudayaan mempunyai wujud, apakah itu disebut wujud ide atau gagasan, maupun wujud materi sebagai benda-benda hasil karya. Kebudayaan dalam pengertian luas, pun demikian, tetap mempunyai wujud
Secara umum wujud kebudayaan dapat juga dibagi atas empat yaitu:
a. wujud kebudayaan sebagai suatu ide-ide, cita-cita, rencana-rencana, gagasan-gagasan, keinginan, kemauan. Ini adalah wujud ideal yang berfungsi memberi arah pada tingkah laku manusia di dalam di kehidupannya.
b. wujud kebudayaan sebagai nilai-nilai, norma-norma, peraturan, pedoman, cara-cara dan sebagainya. Ini adalah wujud yang berfungsi mengatur, mengendalikan dan penunjuk arah pada tingkah laku manusia di dalam bermasyarakat.
c. wujud kebudayaan suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia. Wujud ini disebut juga sistem sosial yaitu sistem yang mengatur, menata aktivitas-aktivitas manusia dalam berinteraksi, bergaul.
d. wujud kebudayaan benda-benda hasil karya manusia. Wujud kebuda-yaan ini merupakan benda-benda yang dapat diraba, dilihat melalui pancaindra, seperti mobil, kapal dsbnya.
Sebagai contoh kasus adalah pembangunan Indonesia, sebagai kebudayaan, dilihat dari keempat wujud di atas adalah sebagai berikut:
Wujud
Kategori
Wujud Cita-Cita
Membangun masyarakat Indonesia berdasarkan undanguUndang dasar 45.
Wujud Arahan
GBHN (Orde Baru), Orde Reformasi (janji-janji pemenang pada kampanye pilkada atau pilpres).
Wujud Aktivitas
Budaya politik, tingkah laku atau aktivitas lainnya.
Wujud Benda
Hasil yang dicapai melalui aktivitas budaya politik, seperti pembangunan gedung sekolah, jembatan, pembangunan jalan dan sebagainya.
III. KEBUDAYAAN NASIONAL INDONESIA
Bila dicermati pandangan masyarakat Indonesia tentang kebudayaan Indonesia, ada dua kelompok pandangan.
1.Kelompok pertama yang mengatakan kebudayaan Nasional Indonesia belum jelas, yang ada baru unsur pendukungnya yaitu kebudayaan etnik dan kebudayaan asing. Kebudayaan Indonesia itu sendiri sedang dalam proses pencarian.
2.Kelompok kedua yang mengatakan mengatakan Kebudayaan Nasional Indonesia sudah ada. pendukung kelompok ketiga ini antara lain adalah Sastrosupono. Sastrosupono. Sastrosupono. Sastrosupono mencontohkan, Pancasila, bahasa Indonesia, undang-undang dasar 1945, moderenisasi dan pembangunan (1982:68-72).
Adanya pandangan yang mengatakan Kebudayaan Nasional Indonesia belum ada atau sedang dalam proses mencari, boleh jadi akibat (1) tidak jelasnya konsep kebudayaan yang dianut dan pahami, (2) akibat pemahaman mereka tentang kebudayaan hanya misalnya sebatas seni, apakah itu seni sastra, tari, drama, musik, patung, lukis dan sebagainya. Mereka tidak memahami bahwa iptek, juga adalah produk manusia, dan ini termasuk ke dalam kebudayaan.
Tulisan ini mencoba berpendapat, seperti pendapat kedua bahwa Kebudayaan Nasional Indonesia itu sudah ada dan memisahkannya dari kebudayaan yang ada di Indonesia. Alat pengindentifikasiannya adalah wujud ide dan wujud material.
3.1 Wujud Ide (Cita-Cita)
Wujud ide ini dipelopori oleh Gerzt. Gerzt melihat kebudayaan sebagai keseluruhan pengetahuan yang dimiliki manusia untuk mengintepretasi dan mewujudkan tindakan-tindakan dalam rangka menghadapi lingkungan alam dan sosialnya. Gerzt hanya membatasi pengertian kebudayaan kepada keseluruhan pengetahuan yang dimiliki manusia, perilaku dan benda-benda tidak lagi dianggap sebagai kebudayaan, melainkan sebagai hal-hal yang diatur atau ditata oleh kebudayaan.
Pengetahuan yang dimiliki manusia pada dasarnya merupakan berbagai model pengetahuan yang didapat melalui proses belajar dan pengalamannya. Berbagai model pengetahuan ada yang saling berhubungan, ada yang saling mendukung, tetapi ada juga saling bertentangan. Model-model yang tidak selalu terintegrasi ini sering digunakan dalam konteks dan situasi-situasi sosial tertentu sesuai dengan interpretasinya terhadap situasi yang dihadapinya.
Keseluruhan pengetahuan yang bersifat abstrak ini, agar lebih operasional diwujudkan ke dalam apa yang disebut pranata-pranata sosial yang dikembangkan oleh kelompok masyarakat. Pranata-pranata tersebut merupakan rangkaian aturan-aturan yang menata kegiatan-kegiatan manusia dalam bidang-bidang kehidupan tertentu.
Dalam konsepsi seperti ini, manusia tidak dilihat sebagai mahluk yang melulu diatur oleh kebudayaannya dalam melangsungkan hidupnya, tetapi sebagai mahluk yang mampu menseleksi dan memanipulasi model-model pengetahuan kebudayaan yang tersedia. Model-model yang akan diseleksi atau dimanipulasinya sangat dipengaruhi oleh situasi dan interpretasinya.
Berdasarkan definisi di atas, definisi Kebudayaan Nasional Indonesia berdasarkan sisi ide dapat dijelaskan semua pola atau cara berfikir/merasa bangsa Indonesia dalam suatu ruangan dan waktu. Pola atau cara berfikir/merasa ini dapat dimulai sesudah adanya Sumpah Pemuda (1928) atau sesudah Indonesia Merdeka (1945) hingga saat ini. Pilihan angka tahun ini (1928) karena, pada masa ini sudah tumbuh keinginan untuk bersatu (cara berfikir/merasa yang seragam untuk mencapai cita-cita atau tujuan bersama) ke dalam sebuah negara. Keinginan ini kemudian wujudkan pada tahun 1945 (kemerdekaan Indonesia).
Perkembangan lebih lanjut dari buah kemerdekaan ini dapat dilihat pada gagasan misalnya gagasan pendidikan nasional, gagasan ekonomi nasional, politik nasional, kesenian nasional, filsafat nasional dan lainnya.
Kebudayaan Nasional Indonesia Dalam Pandangan dan Sisi Ide
Uraian Keterangan
Bentuk Konkrit Ide, Gagasan-Gaasan, Norma-norma
Penciptanya Cendekiawan Indonesia
Lokasinya Dalam Wilayah Indonesia
Mulai
Hingga Indonesia Merdeka (1945) atau Boleh Juga Setelah Sumpah Pemuda (1928)
Berakhir Hingga Indonesia Bubar
Sifatnya Pola Pikir dan Pola Merasa Diserap melalui Difusi, Akulturasi, dll
Sumber Inspirasi Kebudayaan Etnis dan Asing
Kriteria Disepakati Bangsa Indonesia Sebagai Bagian Dari Budaya Indonesia
Fungsi 1. Alat Pemersatu Bagi Etnik Yang Berbeda-beda.
2. Lambang Kebanggan Nasional
3. Lambang Identitas nasional.
3.2 Wujud Materil
Materialisme adalah salah satu paham yang beranggapan bahwa manusia hidup di dunia adalah hasil rekayasa materi. Artinya selagi seorang manusia hidup di dunia, dia sebenarnya hidup di dunia materi. Dia mau hidup, harus makan, dia mau menata sistem nilai dan budayanya harus menggunakan alat (materi).
Materialisme berpandangan kebudayaan adalah hasil dari kumpulan pikiran-pikiran yang dipelajari dan kelakuan-kelakuan yang diperlihatkan oleh anggota-anggota dari kelompok sosial masyarakat, yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pandangan materialisme ini berkaitan dengan hubungan manusia dengan lingkungannya, oleh Marvin Harris, disebut variabel yang bersifat empiris dan ini diistilahkan dengan tekno-ekonomi dan tekno-lingkungan. Kebudayaan bukanlah hal-hal yang irasional, yang tidak dapat dimengerti, yang penuh dengan subyektifitas, tetapi bersifat material, dapat jelas dan dapat diukur.
Dalam kaitan ini, kebudayaan didefinisikan adalah sebagai kumpulan dari pikiran-pikiran yang dipelajari dan kelakuan-kelakuan yang diperlihatkan oleh anggota-anggota dari kelompok-kelompok sosial. Semua ini diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kebudayaan terlepas dari faktor hereditas genetika.
Berdasarkan pengertian di atas, definisi Kebudayaan Nasional Indonesia berdasarkan sisi materialisme budaya adalah produk dari suatu bangsa dalam suatu ruangan dan waktu. Penjabaran hal ini dapat dilihat pada produk suatu bangsa tersebut misalnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), lembaga MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), lembaga kepresidenan, DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), Dewan Perwakilan Daerah, sistem pendidikan nasional, sistem politik nasional, sistem hukum nasional, bangunan arsitektur, produk kesenian, teknologi, bahasa Indonesia, bendera nasional, lagu kebangsaan, lambang negara garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika dan lainnya. Maka definisi Kebudayaan Nasional Indonesia berdasarkan sisi material adalah semua produk yang dihasilkan bangsa Indonesia baik yang dikembangkan di luar Indonesia, maupun yang dikembangkan di Indonesia, yang tumbuh dan berkembang sejak Indonesia merdeka (1945) atau sesudah Sumpah Pemuda (1928) hingga saat ini, apakah itu diserap dari kebudayaan etnik maupun kebudayaan asing, baik melalui proses difusi, akulturasi yang disepakati menjadi bagian dari milik nasional di dalam negara kesatuan RI.
Kebudayaan Nasional Indonesia Dalam Pandangan dan Sisi Material
Urian Keterangan
Bentuk Konkrit Produk/Ciptaan (Material)
Penciptanya Bangsa Indonesia
Lokasinya Dalam/Luar Negeri
Mulai Boleh Dimulai Setelah Sumpah Pemuda (1928) atau Sejak Indonesia Merdeka (1945)
Berakhir Hingga Indonesia Bubar
Sumber Inspirasi Kebudayaan di Indonesia dan Asing
Kriteria Disepakati Bangsa Indonesia Sebagai Bagian Tujuan Bersama Yang Hendak Dicapai.
Fungsi
1. Lambang Kebanggan Nasional.
2. Lambang Identitas Nasional
3. Alat Pemersatu Bagi Etnik Yang Berbeda-beda.
IV. MASALAH DALAM KEBUDAYAAN NASIONAL
Masalah dalam Kebudayaan Nasional Indonesia saat ini adalah tidak sesuainya perilaku dengan gagasan atau ide nasioan yang dibangun. Sebagai contoh, Pancasila dan UUD 45 sebagai pandangan hidup dan dasar negara beserta normatifnya sudah bagus, tetapi di lapangan aktivitas sehari-hari justru kerap tidak sejalan. Lain dalam tataran gagasan lain dalam tataran perilaku. Contoh nyata masalah penghargaan kepada kebhinekaan atau pluralitas atau kemajemukan. Kita sepakat bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang pluralis dalam segala hal. Normatifnya penghargaan kita terhadap kebhinekaan totalitas, artinya tidak ada satu kelompok pun, apakah itu karena faktor etnis atau budaya atau agama yang dipinggirkan. Namun penghargaan tersebut dalam tingkatan aktivitas tidak demikian. Masih kerap kita dengar etnis tertentu, penganut agama tertentu, aksesnya ke bidang-bidang tertentu dimarjinalkan, dipinggirkan, dijadikan warganegara kelas 2 atau kelas 3, hanya faktor karena etnis, faktor agama dan lainnya. Alasan peminggiran karena faktor agama, karena tidak sesuai dengan ajaran agama yang sedang dianut. Penyesuaian ini dikatakan karena Tuhan mensyaratkan demikian. Tetapi bila ditanya mana bukti material Tuhan mengatakan demikian tidak pernah ada. Artinya belum pernah ada mandat yang diberikan Tuhan secara faktual kepada manusia untuk mewakili diriNya sebagao pencipta, yang ada hanyalah mandat non material. Mandat seperti ini susah membuktikannya karena lebih banyak berdasarkan mimpi atau tafsiran atau pengkultusan, sementara di sisi lain, material kehidupan tidak seperti itu, karena material kehidupan ini adalah faktual, seharusnya tidak perlu terjadi pemarjinalan karena faktor agama tersebut. Idealnya memang demikian, kenyataannya tidak demikian. Inilah contoh perilaku kelompok tertentu di Indonesia yang tidak sesuai dengan Kebudayaan Nasional Indonesia, baik dalam tingkat gagasan, maupun material, sebab tidak ada undang-undang produk Indonesia yang berisi diskriminatif tersebut. Tetapi budaya politik yang dikembangkan bersifat diskriminatif.
Perilaku korupsi, bermental atau berkarakter monyet, menunggangi masyarakat untuk kepentingan yang tidak sesuai dengan kemajemukan Indonesia adalah beberapa perilaku yang belum sesuai dengan Kebudayaan Nasional Indonesia dari sisi gagasan.
V. SIMPULAN
Kebudayaan di Indonesia adalah kebudayaan etnik dan kebudayaan asing, sedangkan Kebudayaan Nasional Indonesia adalah hasil kreasi bangsa Indonesia sejak Sumpah Pemuda atau sejak Indonesia merdeka.
Kebudayaan nasional Indonesia adalah semua yang dikategorikan sistem nasional apakah itu berbentuk gagasan kolektif, berbentuk material seperti sistem pendidikan, sistem politik, sistem hukum, dan sistem lainnya dan berbentuk perilaku seperti menghargai kemajemukan, atau pluralitas, menunjung hak dan kewajiban adalah kebudayaan nasional Indonesia.
Secara nyata gagasan kolektif dan material kebudayaan nasional Indonesia sudah ada. Kebudayaan nasional Indonesia saat ini:
No Kategori Penjelasan
1
Sudah Terbentuk
seperti antara lain bentuk negara Indonesia, Pancasila dan UUD 45 sebagai pandangan hidup dan dasar negara, bahasa Indonesia, produk-produk hukum selama indonesia merdeka, teknologi yang diambil dari luar, pendidikan, moderenisasi dalam segala lapangan, sistem politik, sistem hukum, kesenian seperti musik dengan variasinya yang digandrungi dengan melewati batas agama, suku, daerah, pendidikan dan status sosial, tanpa mempersoalkan asal-usul asal budaya tersebut, dan sebagainya.
2
Dalam Proses Pembentukan misalnya semangat berdemokrasi. Negara Indonesia dikatakan menganut demokrasi Pancasila, namun dalam kenyataannya sering berubah menjadi demokrasi jalanan dalam bentuk demonstrasi, semangat demokrasi seperti ini belum semangat demokrasi dari seorang yang demokrat
3
Dalam Proses Pencarian
misalnya hubungan antar umat beragama, sebab hubungan antar umat beragama masih sering terjadi gesekan-gesekan yang memaksa seseorang berpulang kembali ke dalam kelompoknya. Dalam tahapan yang lebih rendah, hubungan antar etnis/suku. Dalam hubungan antar etnis/suku ini, pada beberapa wilayah terjadi gesekan-gesekan, kasus konflik suku di Kalimantan beberapa tahun yang lalu, imbas konflik di Ambon dengan istilah BBM (Buton Bugis Makasar, bentrokan antar suku yang masih kerap terjadi di Papua.
Berdasarkan wujud ide definisi kebudayaan adalah semua pola atau cara berfikir/merasa bangsa dalam suatu ruangan dan waktu. Pengertian ini dikembangkan ke dalam kebudayaan Indonesia menjadi Kebudayaan Nasional Indonesia semua pola atau cara berfikir/merasa bangsa Indonesia yang sama terhadap kelangsungan hidupnya di dalam sebuah negara.
Sedangkan kebudayaan nasional Indonesia berdasarkan wujud material adalah produk dari suatu bangsa dalam suatu ruangan dan waktu. Misalnya semua produk bangsa Indonesia baik yang dikembangkan di luar negeri, maupun yang dikembangkan di dalam negeri, yang tumbuh dan berkembang sejak Indonesia Indonesia merdeka (1945) atau sesudah Sumpah Pemuda (1928) hingga saat ini, apakah itu yang diserap dari kebudayaan etnik maupun kebudayaan asing, baik melalui proses difusi, akulturasi yang disepakati menjadi bagian dari alat mencapai tujuan nasional bersama di dalam negara kesatuan RI. Darimana asal kebudayaan ini tidak dipersoalkan, selagi bentuk kebudayaan yang diserap itu mampu mempersatukan dan mempererat persatuan dan kesatuan, itulah Kebudayaan Nasional Indonesia.
Masalah dalam Kebudayaan Nasional Indonesia saat ini, ada dalam tatataran aksi. Masih banyak perilaku dari masyarakat Indonesia, terutama dari kalangan elit – maaf mungkin terlalu kasar istilah ini - seperti monyet, tidak bisa membedakan mana yang telah sesuai atau baik berdasarkan kemajemukan masyarakat Indonesia, mana yang tidak baik. Bila sesuatu itu tidak sesuai dengan kepentingannya, apakah kepentingan pribadi atau kepentingan kelompoknya, kondisi yang sudah baik tersebut pun “tega” dirusak. Kalau tidak dirusak secara fisik (material), dirusak secara ideologi dengan istilah kafir, sesat, walaupun mereka ini bukan berperilaku kriminal, atau bukan beragama X dan isme-isme. Contoh lain adalah black campaign, pada waktu pemilihan Presiden dan dan sejumlah pemilihan kepada daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Bakker. 1984. Filsafat Kebudayaan: Sebuah Pengantar. Yogyakarta-Jakarta: Penerbit Kanisius dan BPK Gunung Mulia.
Brahmana, Pertampilan S. 1996. Materialisme Budaya Sebagai Suatu Pemahaman Perubahan Budaya. Karya Tulis Pada Program Magister Kajian Budaya UNUD.
Brahmana, Pertampilan S. 1997. Gagasan Kebudayaan Nasional Dalam Masa Kolonial: Dalam Perkembangan Masyarakat. Karya Tulis Pada Program Magister Kajian Budaya UNUD.
Brahmana, Pertampilan S. 1997. Awal Pertumbuhan Kebudayaan Nasional Indonesia. Karya Tulis Pada Program Magister Kajian Budaya UNUD.
Sastrosupono M, Suprihadi. 1982. Menghampiri Kebudayaan. Bandung: Penerbit Alumni.
Sulaeman, Munandar. 1995. Ilmu Budaya Dasar Suatu Pengantar. Bandung: Penerbit PT. ERESCO.
UUD 45 Sebelum di Amandemen dengan penjelasan.
UUD 45 Sesudah di Amandemen tanpa penjelasan.
Penulis Staf Pengajar Pada Fak. Sastra Universitas Sumatera Utara Medan . Magister dengan Pengkhususan Sistem Pengendalian Sosial.
Selasa, 13 Oktober 2009
BUDAYA YANG DILUPAKAN
Budaya merupakan salah satu indentitas suatu bangsa dan budaya juga merupakan warisan dari peradaban suatu bangsa yang ada dan lahir karena kebiasan yang mempunyai nilai-nilai kehidupan.
Akan tetapi seiring dengan kemajuan jaman dan derasnya budaya barat masuk kedalam masyarakat sehingga budaya kita sendiri tergerus dan terberangus dengan kebudayan barat. Contoh kecil dari ditinggalnya kebudayaan kita sendiri adalah dari prilaku masyarakat yang bukan menunujakkan sikap ketimuran. Sikap masyarakat yang sudah mementingkan kepentingan individu diatas segala-galanya, tidak memikirkan kepintingan umum.
Dan ini salah satu faktor dilupakannya kebudayaan sendiri. Masyarakat kita lupa akan budayanya sendiri. Sikap acuh dan bahkan tidak peduli terhadp budaya sudah mengakar dalm masyarakat bahkan hal yang sangat memilukan hati hanya sebagian kecil saja dari masyarakat kita yang peduli terhadap budaya. Hal ini harus jadi perhatian serius dari seluruh lapisan masyarakat baik dari pemerintahan hingga rakyat biasa.
Tak banyak dari pemimpin kita yang peduli akan budaya. Hanya ada segelintir pimimpin yang peduli akan, Mantan orang nomor satu di DKI Jakarta yang peduli akan budaya betawi berusaha dengan keras untuk melestarikan warisan budaya betawi dengan membentuk perkampungan betawi, dan merangkul tokoh-tokoh budaya betawi untuk bahu-menbahu bersama untuk melestarikan budaya betawi. Ini haraus dijadikan contoh untuk para pemimpin kita agar melestarikan budayanya sendiri.
Jangan baru ada kasus pencaplokkan dan pengakuan budaya kita oleh negara tetangga kita semua seperti kebakaran jenggot. Masih hanyat di ingatan kita pengakuan tari pendet oleh malaysia harus menjadi kasus terakhir dan tidak perlu terulang lagi. Pemerintah dan masyarakat Indonesia bahu menbahu melestarikan budayanya.
Dari hal dan kasus diatas harus kita jadikan pelajaran bersama agar kita semua menghargai dan menjaga warisan budaya yang menjadi salah satu kekayaan dan indentisan bangsa yang kita cintai bersama.
TARI DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ANAK
TARI DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ANAK
Seni merupakan ungkapan ekspresi jiwa dari pelakunya. Untuk memahami seni secara utuh tidak dapat lepas dari faktor-faktor pendukung yang akan membentuk karakteristik seni itu sendiri. Ungkapan ekspresi yang ada dalam seni secara umum akan terkait dengan tingkat emosional dari pembuat ataupun pelakunya. Oleh sebab itu akan sangat berbahaya jika memberikan materi seni kepada anak tidak mempertimbangkan faktor psikologis dan tingkat perkembangan anak.
Dari sinilah kita berasumsi bahwa pendidikan tari untuk anak itu sangat perlu. Fenomena penyimpangan perilaku anak terhadap lingkungan, misalnya mencat rambut, corat-coret tembok, dapat dijadikan salah satu indikasi bahwa dalam proses pendidikan telah terjadi miss komunikasi yang semakin jauh antara siswa (anak) dengan guru (orangtua). Pendekatan personal kepada anak memalui sektor seni sangat perlu dan akan banyak membantu memecahkan masalah yang terjadi terkait dengan kesenjangan komunikasi.
Strategi yang perlu ditempuh untuk antisipasi ke depan adalah memperkenalkan seni pada anak sedini mungkin. Seni tari dalam hal ini sebagai salah satu cabang seni yang akan kita jadikan media untuk membentuk sikap perilaku anak.
II. Memperkenalkan Tari pada Anak
Bagaimana teknik memperkenalkan tari pada anak yang tepat, sehingga anak tidak jenuh untuk mempelajarinya . Hal ini harus kita pahami secara utuh apa tari itu, bagaimana menari itu, untuk siapa tarian itu, dan di mana kita menari.
Empat hal inilah sebagai dasar untuk pengenalan tari kepada anak. Pemahaman awal sangat perlu, sehingga tari tidak hanya dianggap sebagai
keterampilan ansich. Anggapan sementara pihak yang mengatakan bahwa pelajaran tari hanya sebagai pelajaran praktek tidak beralasan, karena kenyataan tari juga memiliki latar belakang sejarah yang sangat kompleks terkait dengan perjalanan budaya suatu bangsa. Namun yang lebih penting guru harus mampu menunjukkan bahwa tari adalah salah satu sumber pendidikan yang efektif diterapkan untuk anak.
Pelajaran tari bukan bertujuan untuk mempelajari sikap gerak saja, namun juga sikap mental, kedisiplinan, sehingga pendidikan tari itu menjadi media pendidikan.
Dalam bukunya tentang Pendidikan Ki Hadjar Dewantara menyebutkan bahwa tari anak-anak akan memberi pengaruh terhadap ketajaman pikiran, kehalusan rasa dan kekuatan kemauan serta memperkuat rasa kemerdekaan. Rudolph Steiner menyebut bahwa pengaruh ritme atau wiromo dalam iringan tari akan dapat digunakan sebagai media untuk mencapai budipekerti yang harmonis.
Dari dasar-dasar tersebut dapat ditunjukkan bahwa pendidikan tari adalah sarana bagi usaha pembentukan pribadi anak. Hal ini mengingat usia anak-anak di tingkat Sekolah Dasar secara umum haus akan ekspresi, hal ini harus disalurkan dalam pendidikan kesenian, sehingga tidak terjadi penyimpangan dalam penuangan ekspresi ketika anak SD itu menginjak sekolah lanjut. Di sinilah pentingnya pelajaran kesenian dipahami sebagai salah satu kebutuhan hidup manusia.
Guru (SD) dalam hal ini memiliki peran sangat vital untuk membentengi atau membuat filterisasi pengaruh budaya asing yang tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia.
Seni sebagai bagian dari isi kebudayaan merupakan ungkapan ekspresi jiwa dari pelakunya, terbukti mampu mengakumulasikan beberapa keteladanan yang dituangkan dalam makna-makna simbolis lewat berbagai medium, salah satunya adalah gerak.
Untuk memahami seni secara utuh tidak dapat lepas dari faktor-faktor pendukung yang akan membentuk karakteristik seni itu sendiri. Ungkapan ekspresi yang ada dalam seni secara umum akan terkait dengan tingkat
emosional dari pembuat ataupun pelakunya. Oleh sebab itu akan sangat berbahaya jika memberikan materi seni kepada anak tidak mempertimbangkan faktor psikologis dan tingkat perkembangan emosional anak.
III. Materi Gerak Dasar Tari untuk Anak
Sebelum membicarakan materi gerak dasar tari untuk anak, perlu kiranya diketahui lebih dulu tujuan tari itu diberikan kepada anak, sehingga visi dan misi pembelajaran tari kepada anak dapat tercapai.
Umum:
a. Penanaman dan pemupukan jiwa berkebudayaan nasional dalamarti luas.
b. Penanaman dan pengembangan rasa estetis kepada murid
c. Memberi bimbingan kemampuan anak mengungkapkan rasa estetisnya
d. Tercapainya ketajaman cipta, halusnya rasa, kuatnya kemauan serta kemerdekaan jiwa.
Khusus:
a. Memberi tempat penyaluran ekspresi gerak
b. Membina apresiasi seni
c. Memberi kecakapan dasar-dasar gerak tari
Dari tujuan tersebut jelas bahwa tujuan mempelajari gerak tari bukan merupakan prioritas utama. Namun yang lebih penting adalah aspek di balik pelajaran tari kaitannya dengan masalah budi pekeri dan perilaku anak.
Untuk itulah anak jangan dipaksakan menerima materi yang tidak sesuai dengan tingkat usia yang dimiliki. Hal ini akan sangat berbahaya bagi perkembangan psikologis anak dalam menapak masa depan. tari dalam tataran ini harus mampu merangsang dan mengembangkan imajinasi serta memberikan kebebasan bagi anak-anak untuk menemukan sesuatu (Murgiyanto, 1993: 22)
Materi tari untuk anak dapat kita klasifikasikan sebagai berikut:
1. Tari yang disusun berdasarkan permainan anak keseharian (dolanan)
2. Tari yang disusun atas dasar teks lagu
3. Tari yang disusun atas dasar lagu
4. Imitasi gerak dalam kehidupan sehari-hari
(Empat tahapan tersebut untuk kelas I s/d III SD)
5. Imitasi tari tradisional
6. Tari tradisional yang disesuaikan dengan jiwa anak
7. Tari tradisional yang disesuaikan dengan kemampuan anak
(Kategori ini lebih tepat untuk kelas IV s/d VI SD).
Bagaimana mengajarkan tari untuk anak yang efektif ? Kita perlu memahami pembatasan kelas dan usia anak. Ini sangat perlu diketahui. Untuk memberikan materi kelas I s/d III kita dapat menerapkan sistem pelajaran imitasi (menirukan) gerak bebas dengan mengutamakan ketepatan irama. Baru kemudian menirukan gerak dengan ketepatan gerak. Dan terakhir adalah improvisasi secara bebas.
Untuk kelas IV s/d VI, secara umum metode di atas dapat diterapkan, namun dengan penekanan pada unsur kualitas gerak.
IV. Kesimpulan
Apapun bentuk ungkapan yang diberikan guru pada anak untuk berekspresi secara bebas merupakan langkah awal membentuk pribadi anak. Pelajaran kesenian (tari) untuk anak sejak dini akan dapat membentengi anak dari pengaruh budaya luar yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.
Perilaku anak setelah dewasa akan sangat ditentukan oleh perjalanan kehidupan anak ketika masih kanak-kanak hingga Sekolah Dasar. Dengan manfaat itulah menjadi jelas bahwa misi belajar tari tidak sekedar belajar keterampilan gerak, namun lebih dari itu belajar tari memiliki visi jauh ke depan untuk belajar mengolah rasa pribadi dengan filsafat keindahan yang terdapat dalam tari.
Kalaupun nasib (posisi) pelajaran tari di sekolah Dasar saat ini masih sangat memprihatinkan atau masih dipandang sebelah mata, tidaklah perlu dikhawatirkan, karena tari tidak akan mati, selama manusia ini masih ada. Untuk itulah bagi guru-guru kesenian di Sekolah Dasar harus tetap optimis dengan upaya kreatif, dalam mengantarkan masa depan anak dengan kemampuan masing-masing. Semoga berhasil.
Seni merupakan ungkapan ekspresi jiwa dari pelakunya. Untuk memahami seni secara utuh tidak dapat lepas dari faktor-faktor pendukung yang akan membentuk karakteristik seni itu sendiri. Ungkapan ekspresi yang ada dalam seni secara umum akan terkait dengan tingkat emosional dari pembuat ataupun pelakunya. Oleh sebab itu akan sangat berbahaya jika memberikan materi seni kepada anak tidak mempertimbangkan faktor psikologis dan tingkat perkembangan anak.
Dari sinilah kita berasumsi bahwa pendidikan tari untuk anak itu sangat perlu. Fenomena penyimpangan perilaku anak terhadap lingkungan, misalnya mencat rambut, corat-coret tembok, dapat dijadikan salah satu indikasi bahwa dalam proses pendidikan telah terjadi miss komunikasi yang semakin jauh antara siswa (anak) dengan guru (orangtua). Pendekatan personal kepada anak memalui sektor seni sangat perlu dan akan banyak membantu memecahkan masalah yang terjadi terkait dengan kesenjangan komunikasi.
Strategi yang perlu ditempuh untuk antisipasi ke depan adalah memperkenalkan seni pada anak sedini mungkin. Seni tari dalam hal ini sebagai salah satu cabang seni yang akan kita jadikan media untuk membentuk sikap perilaku anak.
II. Memperkenalkan Tari pada Anak
Bagaimana teknik memperkenalkan tari pada anak yang tepat, sehingga anak tidak jenuh untuk mempelajarinya . Hal ini harus kita pahami secara utuh apa tari itu, bagaimana menari itu, untuk siapa tarian itu, dan di mana kita menari.
Empat hal inilah sebagai dasar untuk pengenalan tari kepada anak. Pemahaman awal sangat perlu, sehingga tari tidak hanya dianggap sebagai
keterampilan ansich. Anggapan sementara pihak yang mengatakan bahwa pelajaran tari hanya sebagai pelajaran praktek tidak beralasan, karena kenyataan tari juga memiliki latar belakang sejarah yang sangat kompleks terkait dengan perjalanan budaya suatu bangsa. Namun yang lebih penting guru harus mampu menunjukkan bahwa tari adalah salah satu sumber pendidikan yang efektif diterapkan untuk anak.
Pelajaran tari bukan bertujuan untuk mempelajari sikap gerak saja, namun juga sikap mental, kedisiplinan, sehingga pendidikan tari itu menjadi media pendidikan.
Dalam bukunya tentang Pendidikan Ki Hadjar Dewantara menyebutkan bahwa tari anak-anak akan memberi pengaruh terhadap ketajaman pikiran, kehalusan rasa dan kekuatan kemauan serta memperkuat rasa kemerdekaan. Rudolph Steiner menyebut bahwa pengaruh ritme atau wiromo dalam iringan tari akan dapat digunakan sebagai media untuk mencapai budipekerti yang harmonis.
Dari dasar-dasar tersebut dapat ditunjukkan bahwa pendidikan tari adalah sarana bagi usaha pembentukan pribadi anak. Hal ini mengingat usia anak-anak di tingkat Sekolah Dasar secara umum haus akan ekspresi, hal ini harus disalurkan dalam pendidikan kesenian, sehingga tidak terjadi penyimpangan dalam penuangan ekspresi ketika anak SD itu menginjak sekolah lanjut. Di sinilah pentingnya pelajaran kesenian dipahami sebagai salah satu kebutuhan hidup manusia.
Guru (SD) dalam hal ini memiliki peran sangat vital untuk membentengi atau membuat filterisasi pengaruh budaya asing yang tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia.
Seni sebagai bagian dari isi kebudayaan merupakan ungkapan ekspresi jiwa dari pelakunya, terbukti mampu mengakumulasikan beberapa keteladanan yang dituangkan dalam makna-makna simbolis lewat berbagai medium, salah satunya adalah gerak.
Untuk memahami seni secara utuh tidak dapat lepas dari faktor-faktor pendukung yang akan membentuk karakteristik seni itu sendiri. Ungkapan ekspresi yang ada dalam seni secara umum akan terkait dengan tingkat
emosional dari pembuat ataupun pelakunya. Oleh sebab itu akan sangat berbahaya jika memberikan materi seni kepada anak tidak mempertimbangkan faktor psikologis dan tingkat perkembangan emosional anak.
III. Materi Gerak Dasar Tari untuk Anak
Sebelum membicarakan materi gerak dasar tari untuk anak, perlu kiranya diketahui lebih dulu tujuan tari itu diberikan kepada anak, sehingga visi dan misi pembelajaran tari kepada anak dapat tercapai.
Umum:
a. Penanaman dan pemupukan jiwa berkebudayaan nasional dalamarti luas.
b. Penanaman dan pengembangan rasa estetis kepada murid
c. Memberi bimbingan kemampuan anak mengungkapkan rasa estetisnya
d. Tercapainya ketajaman cipta, halusnya rasa, kuatnya kemauan serta kemerdekaan jiwa.
Khusus:
a. Memberi tempat penyaluran ekspresi gerak
b. Membina apresiasi seni
c. Memberi kecakapan dasar-dasar gerak tari
Dari tujuan tersebut jelas bahwa tujuan mempelajari gerak tari bukan merupakan prioritas utama. Namun yang lebih penting adalah aspek di balik pelajaran tari kaitannya dengan masalah budi pekeri dan perilaku anak.
Untuk itulah anak jangan dipaksakan menerima materi yang tidak sesuai dengan tingkat usia yang dimiliki. Hal ini akan sangat berbahaya bagi perkembangan psikologis anak dalam menapak masa depan. tari dalam tataran ini harus mampu merangsang dan mengembangkan imajinasi serta memberikan kebebasan bagi anak-anak untuk menemukan sesuatu (Murgiyanto, 1993: 22)
Materi tari untuk anak dapat kita klasifikasikan sebagai berikut:
1. Tari yang disusun berdasarkan permainan anak keseharian (dolanan)
2. Tari yang disusun atas dasar teks lagu
3. Tari yang disusun atas dasar lagu
4. Imitasi gerak dalam kehidupan sehari-hari
(Empat tahapan tersebut untuk kelas I s/d III SD)
5. Imitasi tari tradisional
6. Tari tradisional yang disesuaikan dengan jiwa anak
7. Tari tradisional yang disesuaikan dengan kemampuan anak
(Kategori ini lebih tepat untuk kelas IV s/d VI SD).
Bagaimana mengajarkan tari untuk anak yang efektif ? Kita perlu memahami pembatasan kelas dan usia anak. Ini sangat perlu diketahui. Untuk memberikan materi kelas I s/d III kita dapat menerapkan sistem pelajaran imitasi (menirukan) gerak bebas dengan mengutamakan ketepatan irama. Baru kemudian menirukan gerak dengan ketepatan gerak. Dan terakhir adalah improvisasi secara bebas.
Untuk kelas IV s/d VI, secara umum metode di atas dapat diterapkan, namun dengan penekanan pada unsur kualitas gerak.
IV. Kesimpulan
Apapun bentuk ungkapan yang diberikan guru pada anak untuk berekspresi secara bebas merupakan langkah awal membentuk pribadi anak. Pelajaran kesenian (tari) untuk anak sejak dini akan dapat membentengi anak dari pengaruh budaya luar yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.
Perilaku anak setelah dewasa akan sangat ditentukan oleh perjalanan kehidupan anak ketika masih kanak-kanak hingga Sekolah Dasar. Dengan manfaat itulah menjadi jelas bahwa misi belajar tari tidak sekedar belajar keterampilan gerak, namun lebih dari itu belajar tari memiliki visi jauh ke depan untuk belajar mengolah rasa pribadi dengan filsafat keindahan yang terdapat dalam tari.
Kalaupun nasib (posisi) pelajaran tari di sekolah Dasar saat ini masih sangat memprihatinkan atau masih dipandang sebelah mata, tidaklah perlu dikhawatirkan, karena tari tidak akan mati, selama manusia ini masih ada. Untuk itulah bagi guru-guru kesenian di Sekolah Dasar harus tetap optimis dengan upaya kreatif, dalam mengantarkan masa depan anak dengan kemampuan masing-masing. Semoga berhasil.
Langganan:
Postingan (Atom)